Menyelusuri sejarah secara detail memang sangatlah sulit untuk kita
kaji, disamping perbedaan zaman yang kita alami saat ini jauh tertinggal
dengan zaman mereka, namun secara maknawi, tidak semua sejarah musnah
begitu saja dan tanpa bisa dibuktikan, karena fakta disini akan
mengupasnya. Bercerita tentang tokoh yang satu ini sampai kapanpun terus
menjadi prokontra khalayak rame, suatu mithos dan kenyataan sejarah,
akan terus mewarnai pemahaman orang-orang yang belum paham sejatinya
siapa Ibu Ratu Pantai Selatan, sesungguhnya. Mereka saling membenarkan
pendapatnya masing-masing dengan mengatas namakan keluarga atau silsilah
garis keturunannya.
Walhasil, dalam pemahaman sesungguhnya
mereka masih dalam tarap katanya, inilah kisah selengkapnya yang
disarikan dalam kitan kuno. Terboekanja Puelo Djawa / terbukanya pulau
Jawa, karangan Habib Syeikh Muhammad Idrus, ditulis pada tahun 1845,
yang dinukil dari Nabiyullah Hidir AS. Kisah perempuan yang semasa
hidupnya ngahyang / raib, bermula dari Istri Nabiyullah Sulaiman AS,
yang bernama Ratu Bilqis, setelah suaminya wafat kehadirat Allah SWT.
Beliau ngahyang karena cintanya yang begitu besar terhadap suaminya,
namun Allah berkehendak lain, beliau akhirnya ditempatkan menjadi ratu
laut selatan dibawah perintah Nabiyullah Hidir AS, yang mengepalai
seluruh Abdul Jumud, Ahmar, Abyad, Qorin dan Junu, di wilayah Timur
Tengah. Juga Nyimas Ayu Nilam, atau Kencana wungu, atau Dewi Sekar Wangi
atau Dewi Nawang Wulan, istri Jaka Tarub, yang kini menjadi ratu pantai
selatan, bagian Cilacap. Siti Aisah atau Dewi Pembanyun atau Nyimas
Rara Ayu, Pokeshi, keturunan Demak, yang ibunya dinikahi oleh Prabu
Siliwangi, beliau pada akhirnya ngahyang dan menjadi Ratu Pantai
Selatan, bagian Demak Yogyakarta dan Solo.
Dewi Nawang dan Nawang Sari, putri dari Prabu Siliwangi yang menikah
dengan Ratu Palaga Inggris, beliau juga ngahyang dan menjadi penguasa
pantai selatan, setelah kerajaan ayahandanya raib akibat ditanam Lidi
Lanang. Dewi Sekar Sari atau Dewi Andini, salah satu putri Dewi Nawang
Wulan, beliau sejak lahir telah menempati salah satu wilayah pantai
selatan, yang menguasai Abdul Jumud dan Ahmar, bagian Sukabumi, Garut
dan sekitarnya. Dalam hal ini kami tidak membedarkan secara detail
tentang sejati diri mereka, namun hanya menceritakan perjalanan 7 tombak
yang pernah menjadi bagian dari hidup Dewi Nawang Wulan, putri dari
Prabu Siliwangi, yang kini telah diwariskan pada manusia bumi. Secara
rinci 7 tombak yang dimaksud dalam kisah kali ini punya nama dan gelar
sebagai berikut :
1. Tombak Cakra Langit,
bergelar, Tombak Kesyahidan. Motif, lurus dengan kinatah emas murni
berbentuk jangkar melingkar, ditengah badan menjulang empat tombak kecil
melingkari kepala, dengan kinatah berlian red diamond memutar. Tombak
ini diberikan kepada Kanjeng Suanan KaliJaga, untuk melawan kesaktian
Prabu Siliwangi, atas perintah Prabu Panatagama Tajuddin Syarif
Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) dalam penyebaran agama Islam, dan
tombak ini sebagai cindra mata perkawinannya Dewi Nawang Wulan, dengan
Sunan KaliJaga. Silsilah tombak Cakra Langit, akhirnya turun temurun
diwariskan kepada ahlul Khosois, diantaranya, Quthbul Abdal, Syeikh
Malaka Tajuddin, Makassar, Quthbul Muqoiyyad, Syeikh Hasyim bin Asy’ari,
Aceh, yang diturunkan kepada muridnya Ahmad Suyuti bin Jamal,
Kalimantan, Quthbul Autad Min Zumhur Ulama, Ki Tholkha Kalisapu, Mbah
Hamid, KiPanjul dan kini berada ditangan Min ahlillah Qurbatul Wilayah
Syareatul Khotam, namun sayang tidak boleh dipublikasikan.
2. Tombal Punjul Wilayah,
bergelar, tombak Antakusuma. Tombak ini diberikan kepada putrinya
Andini, sebagai lambang dari tahta istananya yang dikemudian hari
diberikan kepada suaminya Dampu Awuk, gunung Sembung. Lalu diturunkan
kepada putrandannya yang bernama, Raden Sa’id atau pangeran LungBenda
Jaya Negara. Dari Raden Sa’id, akhirnya berpindah tangan karena dicuri
oleh segerombolan aliran hitam yang mengatas namakan perguruan “Kijang
Kencana” yang dikepalai oleh murid sakti Pangeran Ambusana, Weleri Jawa
Tengah. Baru setelah 20 tahun ditangannya, tombal Punjul akhirnya
dimiliki seorang pertapa sakti Buyut Ajigung Ajiguna, setelah adu
kesaktian. Kisah tombak ini turun temurun dijaga oleh sebagian bangsa
Hindu dan pada akhirnya raib dihutan Banyuwangi Jawa Timur, dan baru
setelah seorang Waliyullah kamil, Mbah Hafidz, yang berasal dari Timur
Tengah, menduduki wilayah tersebut, akhirnya tombak Punjuk Wilayah,
tetap terjaga. Kini tombak Punjul, masih dijaga oleh muridnya yang
bernama Ki Panjalu Pati Jawa Tengah. Bentuk tombak Punjul Wilayah. Motif
lurus, urat air hujan (Majapahit) warna hitam kebiruan, dengan lima
ujung mata tombak mengarah kedepan. Tombak ini sudah dirombak dari
bentuk aslinya oleh Mbah Hafidz, sebagai suatu pengelabuan dimasa yang
akan datang agar tidak disalah gunakan.
3. Tombak Panatagama,
bergelar, Raja Maemun. Pemberian dari Sulthonul Jin Maemun Indramayu.
Motif tiga cabang tombak kedepan, urat besi aji meteor legam, hitam
bersisik tanpa pamor, dihiasi 7 batu merah delima, 3 zamrud Colombia dan
4 shapire Srilangka serta 11 batu biduri air. Silsilah tombak ini kami
hanya kedapatan 4 orang dan lainnya tidak diketahui, yaitu, Syeikh
Abdullah Al-Fanani Min Rijalullah, Syeikh Qosim Al-Jawi, Syeikh Mudaim,
dan Ki Toha Tegal Gubug.
4. Tombak Cemeti Rosul,
bergelar Tombak Alam Jagat Raya. Tombak ini berasal dari Nabiyullah
Hidir AS, sewaktu dibaiat Maqomul A’dzom, di alamus Sama tingkat enam,
yang kemudian diberikan kepada Dewi Nawang Wulan, sewaktu dibaiat
Syahadatiyyah oleh Ahli Rijal bangsa Rububiyyah ahlul Barri. Lewat
mandat Dewi Nawang Wulan, bahan tadi dibentuk oleh abdi dalem, Empu
Jalaga Widesa, berupa tombak mata satu dengan urat bumi yang sangat
indah. Baru disaat kota Cirebon diserang oleh pasukan tamtama
Lewmunding, Tombak ini diserahkan kepada Syeikh Magelung Sakti, sebagai
benteng pertahanan paling kuat kota Pesisir. Lalu tujuh tahun setelah
itu, tombak tadi diserahkan kepada Andika Syeikh Muhyi Pamijahan, atas
ilafat Syeikh Sanusi goa gunung Mujarrob, yang menyatakan sudah waktunya
berpindah tempat. Dari Syeikh Sanusi, Tombak Cemeti Rosul, akhirnya
dirubah bentuk menjadi sebatang keris Budho madya kuno dengan urat alami
jagat raya yang selalu menitikkan air disela uratnya, cara perubahan
keris ini menurut pandangan Syeikh sanusi, sebagai lambang penyatuan
antara Islam dan Kejawen yang diajarkan bangsa Waliyullah, pada masa
itu.
Sarung kerisnya dibuat dari kayu Kaukah, dengan dihiasi 21
batu merah delima, 41 zamrud Colombia, 17 shapire Birna, 70 berlian
putih, dan 4 pink shapire srilangka. Pada tahun 1961, keris ini
diberikan kepada Habib Muhammad bin Khudhori, Magelang, atas hawatif
yang diterimanya untuk mengambil secara langsung didalam goa gunung
Mujarrob, Tasikmalaya Jawa Barat. Dan pada tahun 1998, sebelum beliau
wafat, keris ini diberikan kepada Habib Syeikh Arba’atul ‘Amadu, atas
mandat langsung dari Syeikh Sanusi. Kelebihan dari wujud keris ini tidak
bisa di foto dengan kamera digital maupun otomatis lainnya. Kini Keris
Cemeti Rosul, sedang dipinjam oleh Ahlullah Quthbul Muthlak Habib Ali
bin Ja’far Alawi, Arab Saudi.
5. Tombak Karara Reksa,
bergelar, Tombak Derajat. Motif bergerigi dengan cabang berantai lebih
dari sepuluh. Warna putih gading dengan bentuk tumpul, memancarkan
cahaya putih kehitaman. Tombak ini hasil riyadho Dewi Nawang Wulan
Sendiri, sewaktu masih menjadi murid Ki Ageng Surya Pangeran Kuncung
Anggah Buana (Ki Buyut Trusmi) Bahan yang dimilik tombak ini berasal
dari kembang pinang yang sudah membatu. Kisah tombak Karara Reksa,
selalu muncul sewaktu-waktu disaat menjelang pemilihan president, dan
kini tombak tersebut masih terpelihara dialam istana ghoib laut selatan.
6. Tombak Karara Mulya,
bergelar, Tombak Mangku Mulyo. Tombak ini tidak diketahui pembuatnya,
hanya saja setelah dipegang Dewi Nawang Wulan, tombak ini dihadiahkan
atas perkawinan putrinya yang bernama, Nyimas Anting Retno Wulan, untuk
suaminya Pangeran Jaladara, putra Kyai Ageng Bintaro Kejuden. Dari
Pangeran Jaladara, diturunkan kepada putranya, Pangeran Seto Bulakamba,
dan kemudian diwariskan pada gurunya Ki Alam Jagat Bumi, Banten, lalu
turun temurun diberikan kepada Syeikh Asnawi Banten, Syeikh Masduki
Lasem, Syeikh Samber Nyawa Purwodadi, Mbah Hafidz Banyuwangi dan yang
terakhir kepada Habib Husein bin Umar bin Yahya Pekalongan. Asli dari
bentuk tombak Karara Mulya, disetiap ujung sampai pangkal bawah
berjeruji sangat tajam seperti mata kail pancing, namun demi menjaga
kelestarian dari keberadaan tombak fenomenal ini akhirnyaHabib Husein,
merombaknya seperti yang anda lihat saat ini.
7. Tombak Tulungagung,
bergelar Tombak Sapta Jati. Tombak ini diwariskan secara langsung dari
tangan Dewi Nawang Wulan, sebagai tanda terima kasihnya, atas keluhuran
derajat Habib Husein, yang mau menyelamatkan bumi Pekalongan, dari
amukan tsunami hingga tidak sampai terjadi. Kisah ini terjadi pada tahun
1998, bulan Pebruari, tepatnya selasa kliwon. Kini tombak tersebut
dirubah sedikit dari bentuk semula yang aslinya seperti segi tiga
menjadi tombak lurus dengan pahatan panel bunga. Dan sebagai pengantar
terakhir dari kami. Kisah ini sudah dapat restu dari beberapa orang
terkait kecuali Habib Husein bin Umar, karena beliau kini sudah (Alm).
Semoga
dengan pembedaran kisah 7 tombak fenomenal yang barusan kami bedarkan,
menjadikan kita sadar diri dengan apa yang selama ini banyak kita
dengar. Karena apapun benda bertuah kelas wahid, tidak bakal jatuh pada
manusia yang masih memegang, katanya, dan aku-aku sebagai pedoman hidup.
Sebab pemahaman tentaang keluasan bangsa gaib bersumber dari
pembelajaran Ilmu Islam, Iman, Solah, Ihsan, Syahadatul Kubro,
Siddikiyyah dan Qurbah, secara dhaukiyyah (Merasakan langsung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar