Merajut sebuah ilmu dan menjadikannya sehelai kain yang didalamnya penuh
akan keindahan corak dan warna, inilah yang diidamkan seluruh ahli
sufi. Rajutan demi rajutan tentang segala pemahaman ilmu, penghayatan
dan keluasan tentang segala kebesaran Alloh, perjalanan dan pengorbanan
yang selalu dilakoninnya sedari kecil, membuat segala macam ilmu yang
ada padanya, menjadikannya derajat seorang waliyulloh kamil.
Dalam
pandangan para waliyulloh, dimana badan telah tersirat asma’ Alloh dan
segala tetesan darahnya telah mengalir kalimat tauhid, dimana setiap
detak jantung selalu menyerukan keagunganNya dan setiap pandangan
matanya mengandung makna tafakkur, tiada lain orang itu adalah seorang
waliyulloh agung yang mana jasad dan ruhaniyahnya telah menyatu dengan
dzat Alloh. Inilah sanjungan yang dilontarkan oleh seluruh bangsa wali
kala itu pada sosok, kanjeng Syeikh Siti Jenar.Rohmat yang tersiram
didalam tubuhnya, ilmu yang tersirat disetiap desiran nafasnya,
pengetahuan tentang segala makna ketauhidan yang bersemayam didalam akal
dan hatinya, membuat kanjeng Syeikh Siti Jenar menjadi seorang guru
para wali.
Lewat kezuhudan yang beliau miliki serta keluasan ilmu
yang dia terapkan, membuat segala pengetahuannya selalu dijadikan
contoh. Beliau benar benar seorang guru agung dalam mengembangkan sebuah
dhaukiyah kewaliyan/tentang segala pemahaman ilmu kewaliyan. Tak heran
bila kala itu banyak bermunculan para waliyulloh lewat ajaran ilafi yang
dimilikinya.
Diantara beberapa nama santri beliau yang hingga
akhir hayatnya telah sampai kepuncak derajat waliyulloh kamil, salah
satunya, sunan Kali Jaga, raden Fatah, kibuyut Trusmi, kigede Plumbon,
kigede Arjawinangun, pangeran Arya Kemuning, kiageng Demak Purwa Sari,
ratu Ilir Pangabean, gusti agung Arya diningrat Caruban, Pangeran Paksi
Antas Angin, sunan Muria, tubagus sulthan Hasanuddin, kiAgeng Bimantoro
Jati, kiSubang Arya palantungan dan kigede Tegal gubug.
Seiring
perjalanannya sebagai guru para wali, syeikh Siti Jenar mulai menyudahi
segala aktifitas mengajarnya tatkala, Syarief Hidayatulloh/ sunan Gunung
Jati, telah tiba dikota Cirebon. Bahkan dalam hal ini bukan hanya
beliau yang menyudahi aktifitas mengajar pada saat itu, dedengkot wali
Jawa, sunan Ampel dan sunan Giri juga mengakhirinya pula.
Mereka
semua ta’dzim watahriman/ menghormati derajat yang lebih diagungkan,
atas datangnya seorang Quthbul muthlak/ raja wali sedunia pada zaman
tersebut, yaitu dengan adanya Syarief Hidayatulloh, yang sudah menetap
dibumi tanah Jawa.
Sejak saat itu pula semua wali sejawa dwipa,
mulai berbondong ngalaf ilmu datang kekota Cirebon, mereka jauh jauh
sudah sangat mendambakan kedatangan, Syarief Hidayatulloh, yang ditunjuk
langsung oleh, rosululloh SAW, menjadi sulthan semua mahluk ( Quthbul
muthlak )
Nah, sebelum di kupas tuntas tentang jati diri, syeikh
Siti Jenar, tentunya kita agak merasa bingung tentang jati diri, Syarief
Hidayatulloh, yang barusan dibedarkan tadi. "Mengapa Syarief
Hidayatulloh kala itu sangat disanjung oleh seluruh bangsa wali ?".
Dalam
tarap kewaliyan, semua para waliyulloh, tanpa terkecuali mereka semua
sudah sangat memahami akan segala tingkatan yang ada pada dirinya. Dan
dalam tingkatan ini tidak satupun dari mereka yang tidak tahu, akan
segala derajat yang dimiliki oleh wali lainnya. Semua ini karena Alloh
SWT, jauh jauh telah memberi hawatief pada setiap diri para waliyulloh,
tentang segala hal yang menyangkut derajat kewaliyan seseorang.
Nah,
sebagai pemahaman yang lebih jelas, dimana Alloh SWT, menunjuk
seseorang menjadikannya derajat waliyulloh, maka pada waktu yang
bersamaan, nabiyulloh, Hidir AS, yang diutus langsung oleh malaikat,
Jibril AS, akan mengabarkannya kepada seluruh para waliyulloh lainnya
tentang pengangkatan wali yang barusan ditunjuk tadi sekaligus dengan
derajat yang diembannya.
Disini akan dituliskan tingkatan derajat
kewaliyan seseorang, dimulai dari tingkat yang paling atas. "Quthbul
muthlak- Athman- Arba’ul ‘Amadu- Autad- Nukoba’ – Nujaba’ – Abdal- dan
seterusnya". Nah dari pembedaran ini wajar bila saat itu seluruh wali
Jawa berbondong datang ngalaf ilmu ketanah Cirebon, karena tak lain
didaerah tersebut telah bersemayam seorang derajat, Quthbul muthlak,
yang sangat dimulyakan akan derajat dan pemahaman ilmunya.
Kembali
kecerita syeikh Siti Jenar, sejak adanya, Syarief Hidayatulloh, yang
telah memegang penting dalam peranan kewaliyan, hampir seluruh wali kala
itu belajar arti ma’rifat kepadanya, diantara salah satunya adalah,
syeikh Siti Jenar sendiri.
Empat tahun para wali ikut bersamanya
dalam “Husnul ilmi Al kamil"/ menyempurnakan segala pemahaman ilmu, dan
setelah itu, Syarief Hidayulloh, menyarankan pada seluruh para wali
untuk kembali ketempat asalnya masing masing. Mereka diwajibkan untuk
membuka kembali pengajian secara umum sebagai syiar islam secara
menyeluruh.
Tentunya empat tahun bukan waktu yang sedikit bagi
para wali kala itu, mereka telah menemukan jati diri ilmu yang
sesungguhnya lewat keluasan yang diajarkan oleh seorang derajat, Quthbul
mutlak. Sehingga dengan kematangan yang mereka peroleh, tidak semua
dari mereka membuka kembali pesanggrahannya.
Banyak diantara
mereka yang setelah mendapat pelajaran dari, Syarief Hidayatulloh,
segala kecintaan ilmunya lebih diarahkan kesifat, Hubbulloh/ hanya cinta
dan ingat kepada Alloh semata. Hal seperti ini terjadi dibeberapa
pribadi para wali kala itu, diantaranya; syeikh Siti Jenar, sunan Kali
Jaga, sulthan Hasanuddin Banten, pangeran Panjunan, pangeran Kejaksan
dan Syeikh Magelung Sakti.
Mereka lebih memilih hidup menyendiri
dalam kecintaannya terhadap Dzat Alloh SWT, sehingga dengan cara yang
mereka lakukan menjadikan hatinya tertutup untuk manusia lain.
Keyakinannya yang telah mencapai roh mahfud, membuat tingkah lahiriyah
mereka tidak stabil. Mereka bagai orang gila yang tidak pernah punya
rasa malu terhadap orang lain yang melihatnya.
Seperti halnya,
syeikh Siti Jenar, beliau banyak menunjukkan sifat khoarik/ kesaktian
ilmunya yang dipertontonkan didepan kalayak masyarakat umum. Sedangkan
sunan Kali Jaga sendiri setiap harinya selalu menaiki kuda lumping, yang
terbuat dari bahan anyaman bambu. Sulthan Hasanuddin, lebih banyak
mengeluarkan fatwa dan selalu menasehati pada binatang yang dia temui.
Pangeran
Panjunan dan pangeran Kejaksaan, kakak beradik ini setiap harinya
selalu membawa rebana yang terus dibunyikan sambil tak henti hentinya
menyanyikan berbagai lagu cinta untuk tuannya Alloh SWT, dan syeikh
Magelung Sakti, lebih dominan hari harinya selalu dimanfaatkan untuk
bermain dengan anak anak.
Lewat perjalanan mereka para hubbulloh/
zadabiyah/ ingatannya hanya kepada, Alloh SWT, semata. Tiga tahun
kemudian mereka telah bisa mengendalikan sifat kecintaannya dari sifat
bangsa dzat Alloh, kembali kesifat asal, yaitu syariat dhohir.
Namun
diantara mereka yang kedapatan sifat dzat Alloh ini hanya syeikh Siti
Jenar, yang tidak mau meninggalkan kecintaanya untuk tuannya semata (
Alloh ) Beliau lebih memilih melestarikan kecintaannya yang tak bisa
terbendung, sehingga dengan tidak terkontrol fisik lahiriyahnya beliau
banyak dimanfaatkan kalangan umum yang sama sekali tidak mengerti akan
ilmu kewaliyan.
Sebagai seorang waliyulloh yang sedang menapaki
derajat fana’, segala ucapan apapun yang dilontarkan oleh syeikh Siti
Jenar kala itu akan menjadi nyata, dan semua ini selalu dimanfaatkan
oleh orang orang culas yang menginginkan ilmu kesaktiannya tanpa harus
terlebih dahulu puasa dan ritual yang memberatkan dirinya.
Dengan
dasar ini, orang orang yang memanfaatkan dirinya semakin bertambah
banyak dan pada akhirnya mereka membuat sebuah perkumpulan untuk melawan
para waliyulloh. Dari kisah ini pula, syeikh Siti Jenar, berkali kali
dipanggil dalam sidang kewalian untuk cepat cepat merubah sifatnya yang
banyak dimanfaatkan orang orang yang tidak bertanggung jawab, namun
beliau tetap dalam pendiriannya untuk selalu memegang sifat dzat Alloh.
Bahkan
dalam pandangan, syeikh Siti Jenar sendiri mengenai perihal orang orang
yang memenfaatkan dirinya, beliau mengungkapkannya dalam sidang
terhormat para waliyulloh; “Bagaiman diriku bisa marah maupun menolak
apa yang diinginkan oleh orang yang memanfaatkanku, mereka semua adalah
mahluk Alloh, yang mana setiap apa yang dikehendaki oleh mereka terhadap
diriku, semua adalah ketentuanNya juga" lanjutnya.
“Diriku hanya
sebagai pelantara belaka dan segala yang mengabulkan tak lain dan tak
bukan hanya dialah Alloh semata . Karena sesungguhnya adanya diriku
adanya dia dan tidak adanya diriku tidak adanya dia. Alloh adalah diriku
dan diriku adalah Alloh, dimana diriku memberi ketentuan disitu pula
Alloh akan mengabulkannya. Jadi janganlah salah paham akan ilmu Alloh
sesungguhnya, karena pada kesempatannya nanti semua akan kembali lagi
kepadaNya."
Dari pembedaran tadi sebenarnya semua para
waliyulloh, mengerti betul akan makna yang terkandung dari seorang yang
sedang jatuh cinta kepada tuhannya, dan semua waliyulloh yang ada dalam
persidangan kala itu tidak menyalahkan apa barusan yang diucapkan oleh,
syeikh Siti Jenar.
Hanya saja permasalahannya kala itu, seluruh
para wali sedang menapaki pemahaman ilmu bersifat syar’i sebagai bahan
dasar dari misi syiar islam untuk disampaikan kepada seluruh masyarakat
luas yang memang belum mempunyai keyakinan yang sangat kuat dalam
memasuki pencerahan arti islam itu sendiri. Wal hasil, semua para wali
pada saat itu merasa takut akan pemahaman dari syeikh siti jenar, yang
sepantasnya pemahaman beliau ini hanya boleh didengar oleh oleh orang
yang sederajat dengannya, sebab bagaimanapun juga orang awam tidak akan
bisa mengejar segala pemahaman yang dilontarkan oleh syeikh Siti Jenar.
Sedangkan
pada saat itu, syeikh Siti Jenar yang sedang kedatangan sifat
zadabiyah, beliau tidak bisa mengerem ucapannya yang bersifat
ketauhidan, sehingga dengan cara yang dilakukannya ini membawa dampak
kurang baik bagi masyarakt luas kala itu. Nah, untuk menanggulangi sifat
syeikh Siti Jenar ini seluruh para wali akhirnya memohon petunjuk
kepada Alloh SWT, tentang suatu penyelesaian atas dirinya, dan hampir
semua para wali ini mendapat hawatif yang sama, yaitu :
"Tiada
jalan yang lebih baik bagi orang yang darahnya telah menyatu dengan
tuhannya, kecuali dia harus cepat cepat dipertemukan dengan kekasihnya".
Dari hasil hawatif para waliyulloh, akhirnya syeikh Siti Jenar
dipertemukan dengan kekasihnya Alloh SWT, lewat eksekusi pancung. Dan
cara ini bagi syeikh Siti Jenar sendiri sangat diidamkannya. Karena
baginya, mati adalah kebahagiaan yang membawanya kesebuah kenikmatan
untuk selama lamnya dalam naungan jannatun na’im.
Jumat, 22 Februari 2013
Wasiat Gaib Pak Harto
Seperti apakah wasiat gaib itu?
Siapa pula yang harus melaksanakannya? Dan, bagaimana dengan penilaian
para kyai khosois yang mendapat kabar baik dari HM. Soeharto, beberapa
saat setelah almarhum meninggal dunia…?
Minggu (27/01) siang nan cerah itu dia
berpulang ke hadapan Sang Maha Pemberi Kehidupan. Pada usianya yang 87
tahun Juni nanti. K0epulangannya tidak hanya meninggalkan enam anak dan
belasan orang cucu. Tapi, Pak Harto juga meninggalkan berbagai macam
kontroversi ikhwal dirinya di masyarakat.
Begitu banyak orang yang memujanya, namun tak sedikit pula yang mencelanya. Banyak pula jasanya bagi negeri ini, tapi tak sedikit pula celanya ketika dia berkuasa. Sang Jenderal Besar ini memang punya peran sejati yang seakan tak pernah tuntas terjawab. Bahkan hingga ajal menjemputnya.
Begitulah sosok HM. Soeharto yang selama 32 tahun menggenggam republik dalam kekuasaannya. Selama itu pula nyaris tak ada cela pada dirinya. Semua tertutup begitu rapat. Penulis Belanda, O.G. Roeder, menyebutnya The Smiling General, jendral yang selalu tersenyum. Seperti kebanyakan orang Jawa, paras Soeharto memang selalu nampak tersenyum, bahkan ketika dia sedang menahan amarah sekalipun. Inilah salah satu kelebihannya.Lengsernya Soeharto pada 21 Mei 1998 seakan menjadi sebuah pertanda yang sangat buruk. Berbagai hujatan dan catatan kelam pemerintahannya meradang bagai kanker stadium empat. Hal ini seakan-akan mengubur semua jasa-jasanya selama memimpin Orde Baru.
Mengiringi kejatuhannya yang begitu dingin, pergunjingan tentang berapa banyak harta anak-anak Soeharto seakan-akan menjadi menu harian bagi rakyat negeri ini. Banyak yang kesal dan menjadikan Soeharto sebagai bulan-bulanan, Belum lagi soal pelanggaran HAM, korupsi dana yayasan, juga sederat soal lainnya, yang nyata menuding Soeharto sebagai dalang di balik semua kebobrokan itu.
Semua itu menjadi masalah hukum yang sulit untuk diselesaikan. Kontroversi pun terus saja berlanjut. Bahkan, hingga malaikat maut menjemputnya ke haribaan Illahi.
Warna-warni perjuangannya dalam membangun bangsa dan negara, terkikis di penghujung hayatnya. Bahkan di saat, detik-detik terakhir tutup usia, pro dan kontra terus mengalir silih berganti.
Kini, dengan meninggalnya HM. Soeharto, apa masalah hukumnya, khususnya hukum perdata, apa akan berakhir pula? Tentu jawabannya adalah tidak. Masalah ini akan terus mengakar tanpa pasri di titik mana ujungnya akan berakhir.
Tulisan ini, sesungguhnya tidak bermaksud mengkaji mengenai almarhum Pak Harto dari sisi fisik atau lahiriyah. Lewat tulisan ini, saya (Penulis) semata-mata hanya ingin membeberkan sebuah perkara berdimensi gaib, yang memang erat hubungannya dengan almarhum. Khususnya, mengenai keberadaan “pusaka” gaibnya. Karena itulah, saya memberanikan diri memberi judul tulisan ini dengan “Wasiat Gaib Almarhum Pak Harto.”
Berupa apakah pusaka gaib tersebut? Siapa pula yang harus melaksanakan wasiat gaib almarhum? Dan, bagaimana dengan penilaian para kyai khosois sendiri yang mendapat kabar baik dari HM. Soeharto, beberapa saat setelah almarhum meninggal dunia?
Tanpa bermaksud menebar sensasi, inilah kisah sesungguhnya yang saya alami selama beberapa waktu, baik sesudah maupun setelah wafatnya Pak Harto….
Tepatnya selasa dini hari, 29 Januari 2008, dua hari setelah HM. Soeharto meninggal dunia, saya bermimpi bertemu dengan beliau di sebuah istana yang sangat indah. Di hadapan saya, wajah Pak Harto tampak bercahaya. Begitu pun dengan koko putih yang dikenakannya juga benderang bagaikan pualam. Pak Harto terus tersenyum sambil melemparkan beberapa beras mutiara untuk puluhan ayam yang semuanya berwarna putih bersih.
Sesudah itu, Pak Harto mendekatiku dan berucap, “Ya Salam…Ya Salam.. An dzoh dotil qubri wal malaikatani biidznillahi. Addarojatul a’la mindarojatil qubri…amin (sesungguhnya aku selamat…selamat dari impitan bumi yang sangat mengerikan, selamat pula dari pertanyaan kedua malaikat ahli kubur…semua ini karena kefadholan dari Allah SWT. Selamatnya aku dari siksa kubur, semua karena rahmat yang diberikan oleh manusia hidup atas hujatannya hingga dosa yang kupikul selama hidup di dunia, perlahan-lahan sirna…amin).”
Sambil masih tersenyum, Pak Harto tambah mendekatiku, lalu membuka telapak tangannya. Pada telapak tangan itulah saya melihat ada dua butir batu permata yang bersinar merah benderang, sehingga aku meyakinya sebagai Merah Delima. Disamping itu juga ada satu botol minyak Kasturi, dan sebutir batu hitam berurat emas.
Lalu dengan isyarat tangannya, Pak Harto menerjemahkan makna dari benda-benda tersebut. Sambil menunjuk salah seorang anak, yaitu bocah kecil yatim, juga puluhan ayam yang berada di hadapannya. Saya sendiri dapat menangkap isyarat tersebut sebagai berikut :
“Semua benda ini adalah milikku, berikanlah kepada anakku ini (salah satu anaknya), tapi bila engkau ragu kepadanya, manfaatkanlah untuk membuat ternak ayam yang hasilnya bisa dibagikan kepada anak yatim piatu.”
Begitulah mimpi mengesankan yang saya alami. Demi menjelaskan makna dari kedalaman mimpi tersebut, Insya Allah saya akan membeberkan rahasia prihal benda-benda yang ada pada tangan Pak Harto itu di penghujung tulisan ini nanti.
***
Pagi hari setelah mengalami mimpi yang bagi saya penuh kerahasiaan
itu, maka saya langsung menanyakan perihal mimpi tersebut kepada Sang
Guru. Aneh, beliau malam menjawabnya seperti ini, “Sama saja! Aku juga
mimpi didatangi oleh HM. Soeharto, tadi malam. Beliau juga mengabarkan
telah mendapat rahmat dari sedakohnya di alam dunia.”Begitu banyak orang yang memujanya, namun tak sedikit pula yang mencelanya. Banyak pula jasanya bagi negeri ini, tapi tak sedikit pula celanya ketika dia berkuasa. Sang Jenderal Besar ini memang punya peran sejati yang seakan tak pernah tuntas terjawab. Bahkan hingga ajal menjemputnya.
Begitulah sosok HM. Soeharto yang selama 32 tahun menggenggam republik dalam kekuasaannya. Selama itu pula nyaris tak ada cela pada dirinya. Semua tertutup begitu rapat. Penulis Belanda, O.G. Roeder, menyebutnya The Smiling General, jendral yang selalu tersenyum. Seperti kebanyakan orang Jawa, paras Soeharto memang selalu nampak tersenyum, bahkan ketika dia sedang menahan amarah sekalipun. Inilah salah satu kelebihannya.Lengsernya Soeharto pada 21 Mei 1998 seakan menjadi sebuah pertanda yang sangat buruk. Berbagai hujatan dan catatan kelam pemerintahannya meradang bagai kanker stadium empat. Hal ini seakan-akan mengubur semua jasa-jasanya selama memimpin Orde Baru.
Mengiringi kejatuhannya yang begitu dingin, pergunjingan tentang berapa banyak harta anak-anak Soeharto seakan-akan menjadi menu harian bagi rakyat negeri ini. Banyak yang kesal dan menjadikan Soeharto sebagai bulan-bulanan, Belum lagi soal pelanggaran HAM, korupsi dana yayasan, juga sederat soal lainnya, yang nyata menuding Soeharto sebagai dalang di balik semua kebobrokan itu.
Semua itu menjadi masalah hukum yang sulit untuk diselesaikan. Kontroversi pun terus saja berlanjut. Bahkan, hingga malaikat maut menjemputnya ke haribaan Illahi.
Warna-warni perjuangannya dalam membangun bangsa dan negara, terkikis di penghujung hayatnya. Bahkan di saat, detik-detik terakhir tutup usia, pro dan kontra terus mengalir silih berganti.
Kini, dengan meninggalnya HM. Soeharto, apa masalah hukumnya, khususnya hukum perdata, apa akan berakhir pula? Tentu jawabannya adalah tidak. Masalah ini akan terus mengakar tanpa pasri di titik mana ujungnya akan berakhir.
Tulisan ini, sesungguhnya tidak bermaksud mengkaji mengenai almarhum Pak Harto dari sisi fisik atau lahiriyah. Lewat tulisan ini, saya (Penulis) semata-mata hanya ingin membeberkan sebuah perkara berdimensi gaib, yang memang erat hubungannya dengan almarhum. Khususnya, mengenai keberadaan “pusaka” gaibnya. Karena itulah, saya memberanikan diri memberi judul tulisan ini dengan “Wasiat Gaib Almarhum Pak Harto.”
Berupa apakah pusaka gaib tersebut? Siapa pula yang harus melaksanakan wasiat gaib almarhum? Dan, bagaimana dengan penilaian para kyai khosois sendiri yang mendapat kabar baik dari HM. Soeharto, beberapa saat setelah almarhum meninggal dunia?
Tanpa bermaksud menebar sensasi, inilah kisah sesungguhnya yang saya alami selama beberapa waktu, baik sesudah maupun setelah wafatnya Pak Harto….
Tepatnya selasa dini hari, 29 Januari 2008, dua hari setelah HM. Soeharto meninggal dunia, saya bermimpi bertemu dengan beliau di sebuah istana yang sangat indah. Di hadapan saya, wajah Pak Harto tampak bercahaya. Begitu pun dengan koko putih yang dikenakannya juga benderang bagaikan pualam. Pak Harto terus tersenyum sambil melemparkan beberapa beras mutiara untuk puluhan ayam yang semuanya berwarna putih bersih.
Sesudah itu, Pak Harto mendekatiku dan berucap, “Ya Salam…Ya Salam.. An dzoh dotil qubri wal malaikatani biidznillahi. Addarojatul a’la mindarojatil qubri…amin (sesungguhnya aku selamat…selamat dari impitan bumi yang sangat mengerikan, selamat pula dari pertanyaan kedua malaikat ahli kubur…semua ini karena kefadholan dari Allah SWT. Selamatnya aku dari siksa kubur, semua karena rahmat yang diberikan oleh manusia hidup atas hujatannya hingga dosa yang kupikul selama hidup di dunia, perlahan-lahan sirna…amin).”
Sambil masih tersenyum, Pak Harto tambah mendekatiku, lalu membuka telapak tangannya. Pada telapak tangan itulah saya melihat ada dua butir batu permata yang bersinar merah benderang, sehingga aku meyakinya sebagai Merah Delima. Disamping itu juga ada satu botol minyak Kasturi, dan sebutir batu hitam berurat emas.
Lalu dengan isyarat tangannya, Pak Harto menerjemahkan makna dari benda-benda tersebut. Sambil menunjuk salah seorang anak, yaitu bocah kecil yatim, juga puluhan ayam yang berada di hadapannya. Saya sendiri dapat menangkap isyarat tersebut sebagai berikut :
“Semua benda ini adalah milikku, berikanlah kepada anakku ini (salah satu anaknya), tapi bila engkau ragu kepadanya, manfaatkanlah untuk membuat ternak ayam yang hasilnya bisa dibagikan kepada anak yatim piatu.”
Begitulah mimpi mengesankan yang saya alami. Demi menjelaskan makna dari kedalaman mimpi tersebut, Insya Allah saya akan membeberkan rahasia prihal benda-benda yang ada pada tangan Pak Harto itu di penghujung tulisan ini nanti.
***
Yang tak kalah aneh, di siang hari yang sama, ketika saya masih sowan ke padepokan guru, di rumah Ibuku kedatangan empat tamu istimewa. Mereka adalah para insan khosois dari beberapa daerah. Di antaranya adalah Saidah Ruqoiyah dan Jalaliyatal Maryam. Dua orang ini ahli bertapa dan sudah sejak usia muda mereka telah meninggalkan kesenangan duniawiyah (waro’i) untuk memilih hidup sebagai mursyid. Sedangkan yang dua orang lagi adalah Habib Luthfi dan Habib Thohir, yang merupakan ulama Thoriqoh Kadiriyah.
Menurut cerita Ibuku, di hadapan dirinya keempat tamu istimewa ini saling bertukar cerita, bahwa tadi malam mereka semua bermimpi di datangi oleh sosok HM. Soeharto. Seperti halnya penuturan dari Saidah Ruqoiyah dan Habib Luthfi, keduanya bermimpi sama, yaitu ditemui HM. Soeharto yang berkata dengan seulas senyum yang sangat menawan.
“Aku selamat karena doa dari para Ahlillah sewaktu kuberdoa di dalam Baitullah (Ka’bah).” Demikian kata Habib Luthfi seperti disampaikan Ibu pada saya.
Sedangkan menurut Jalaliyatal Maryam, di dalam mimpinya, HM. Soeharto berkata begini, “Maha Besar Allah dengan segala kefadholanNya, sesungguhnya aku selamat karena doa para anak yatim yang pernah kuberikan kesenangan kepada mereka.”
Menurut Habib Thohir, dalam mimpinya, HM. Soeharto berkata dengan mimik wajah penuh keriangan, “Demi surga yang kuperoleh, Demi Allah aku haturkan atas doa para ulama dan masyarakat luas yang tulus ikhlas mendoakan keselamatanku.”
Insan-insan khosois itu sangat saya yakini tidak akan berbohong dengan kesaksiannya. Pastilah mereka memang telah mengalami mimpi itu.
Di hari yang sama, sesuai dengan anjuran guru, menjelang senja saya memutuskan untuk ziarah ke Masjid Agung Sang Cipta Rasa. Aneh, di sana telah berkumpul puluhan ulama. Mereka juga sedang menceritakan mimpinya masing-masing tentang pertemuan dengan HM. Soeharto, yang mengabarkan keselamatan dirinya dari siksa kubur.
Dengan rakzim saya menyimak kisah-kisah mereka. Tapi saya tidak berani bertanya apa pun. Wallahu ‘alam bissawab! Biarlah kabar lewat mimpi itu menjadi rahasiaNya semata, yang tidak bisa diukur dengan akal manusia.
Memang, jauh-jauh hari sebelum mantan orang nomor satu Indonesia itu dipanggil ke hadirat Allah SWT, para ulama khosois ahli Jawa, sudah mengetahui lewat hawatif batin yang mereka terima dari undangan Kanjeng Sunan Kalijaga.
Disebutkan, undangan Kanjeng Sunan Kalijaga itu berisi ajakan kepada seluruh para khosois untuk datang dalam acara perhelatan akbar di I(stana Pakungwati Kasepuhan Cirebon. Tepatnya acara berlangsung sekaitan dengan momen menyambut tahun baru Islam 1 Muharram, 1429 H. Acara ini, diprakarsai langsung oleh Sunan Gunung Jati dan Mbah Kuwu Cakra Buana.
Dalam pandangan para khosois, perhelatan akbar seperti ini sudah biasa mereka lihat. Apalagi dalam acara mensyukuri datangnya tahun baru Islam yang penuh makna sejarah. Di samping itu, semua makhluk dari beragam alam wajib menghormati tahun baru Islam, karena rahmat yang terkandung di dalamnya. Tahun baru Islam sendiri adalah simbol dari permulaan kisah dari semua kisah. Seperti di saat Allah SWT menciptakan langit, bumi, hujan, hari kiamat, rahmat, rizki, dan lain sebagainya. Semuanya itu di tahun baru Islam.
Juga pengangkatan derajat Nabiyullah Idris as masuk surga Majazi, Nabiyullah Adam as diterima tobatnya setelah memakan buah Khuldi. Nabiyullah Ibrahim as selamat dari pembakaran, Nabiyullah Yusuf as dimerdekakan dari status budak, Nabiyullah Yunus as selamat dari ikan hiu, Nabiyullah Ayyub as sembuh dari penyakit kulitnya, Nabiyulah Ya’kub as bisa melihat kembali dari kebutaan matanya, dan masih banyak peristiwa lainnya.
Karena itulah adalah wajar bila bangsa Waliyullah dari Alamul Barry dan Alamul Thurrob mensyukurinya.
Undangan musyawarak tersebut untuk bangsa manusia juga disampaikan secara langsung oleh Kanjeng Sunan Kali Jaga. Sekaiatan dengan ini, maka ada hal-hal yang perlu dicermati oleh semua orang, tentang sebuah misteri yang belum terungkap sepenuhnya.
Tiga hari sebelum malam pergantian tahun baru Islam, para khosois dari berbagai daerah mulai berdatangan dan berkumpul di Masjid Sang Cipta Rasa Cirebon. Tak hanya itu. sebelas paranormal Jalaliyah yang biasanya tidak pernah ikut-ikutan, juga datang satu demi satu untuk menghadiri perhelatan keramat berdimensi gab tersebut. Kesebelas orang paranormal dimaksud adalah orang-orang pilihan yang sangat dipercaya oleh penguasa Ratu Pantai Selatan, Mereka semuanya hidup dari satu tempat ke tempat yang lain, sehingga mereka sama sekali tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap.
Jauh sebelumnya, saya sendiri mengenal mereka di beberapa tempat terpisah. Sebagai contoh, Ki Panjalu dan muridnya Ki Rosyid, bertemu denganku saat ziarah di Pasarean Syekh Dukuh Jeruk Brebes. Sedangkan Ki Ma’ani dan Ki Sutejo, bertemu dengan saya pada saat kami sama-sama berada di Paserean Ki Muhyi, Pamijahan, Tasikmalaya. Sementara Ki Arwani, Mbah Dullah, Ki Sabrawi, dan Ki Pejo, bertemu dengan saya pada saat saya tirakat di Masjid Agung Sang Cipta Rasa.
Yang lainnya adalah Ki Mas’ud, bertemu denganku di Pesarean Nyi Mas Gandasari, Panguragan. Mbah Qoiyyu bertemu dengan saya di Paserean Pangeran Papak, Garut. Dan yang terakhir adalah Gus Bur,. Saya bertemu dengannya saat tirakat di Paserean Habib Keling di Indramayu.
Dalam hal sifat, kesebelas paranormal Jalaliyah yang telah saya sebutkan satu persatu namanya, memang tergolong tidaklah umum. Mereka semua berperilaku seperti orang kurang waras. Namun, dalam hal oleh kebatinan dan kebersihan hati, merekalah ahlinya.
Lewat pendalaman batin yang saya miliki, malam itu saya melihat Masjid Agung Sang Cipta Rasa Cirebon, telah dipadati oleh para ahli khosis dalam menyambut datangnya tahun baru Islam. Mereka semua telah memenuhi kreteria panggilan sang Sunan Kali Jaga dalam menembus dimensi lain, guna menghadiri perhelatan akbar di Alamul Barri bangsa wali.
Di hadapan aula besar istana bangsa wali, semua berkumpul mendengarkan tausiyah dari Kanjeng Sunan Gunung Jati. Di antara tausiyahnya tersebut, sang Sunan berkata, “Doakanlah Harto dan bantulah untuk mencabuti benda yang bersarang di tubuhnya. Sesungguhnya Harto akan menjadi rekan kita sebentar lagi (meninggal dunia).
Perlu kiranya saya tegaskan, yang dimaksud tujuh benda adalah: Bunga Wijaya Kusuma, Bunga Teratai, Bunga Melati, Batu Yaman Ampal, Batu Dampar Emas, dan 2 buah pedang. Bila Allah SWT masih menghendaki Pak Harto untuk tetap hidup, niscaya ketiga bunga tersebut sebagai tanda kehidupannya. Tapi, bila Allah SWT berkehendak ingin mengambil nyawanya, niscaya batu-batu tadi yang menjadi tandanya. “Dan bila Allah SWT berkehendak memberi peringatan terlebih dahulu, maka pedang inilah yang menjadi kuncinya.” Demikian penegasan Sunan Gunung Jati.
Setelah mendengar sembilan tausiyah yang dibeberkan oleh Kanjeng Sunan Gunung Jati, maka kami semua shalat berjamaah, yang kemudian diteruskan dengan zikir bersama.
Saat usai berdoa yang dipimpin oleh Mbah Kuwu Cakra Buana, tiba-tiba seberkas sinar kuning keemasan dan merah menyala melesat mengitari semua jamaah yang ada di majelis tersebut. Sesaat kemudian, salah satu sinar, yaitu sinar kuning emas, jatuh menukik. Tepatnya jatuh di pangkuan Ki Panjalu, salah seorang dari sebelas paranormal Jalalliyah yang turut hadir dalam perhelatan tersebut.
Sementara itu, sinar yang merah menyala melesat terbang ke arah barat, tepatnya ke Banten dan dikatakan tepat jatuh di atas cungkup Pesarean Sultan Hasanuddin, anak dari Sunan Gunung Jati.
Dari kejadian ini, semua yang hadir paham dengan apa yang dimaksud. Sinar kening keemas dan merah menyala itu adalah Batu Yaman Ampal dan Batu Dampar Emas. Maka, dengan melesatnya kedua batu tersebut, ini jelas merupakan pertanda akan berakhirnya usia HM. Soeharto.
Intinya, rahasia dari undangan Sunan Gunung Jati kali ini adalah pemberitahuan akan wafatnya sosok pemimpin besar HM. Soeharto. Makanya, dengan mengikuti langsung perhelatan tersebut, jauh-jauh hari saya sudah menuliskan ramalan lewat sebuah judul “Perjalanan Bencana Tahun 2008; Edisi 435). Dalam kajian tersebut saya menulis, “Nama-nama terkenal dari seseorang, baik yang ada dalam lingkup orang kuat maupun selebritis kondang, salah satuya, di tahun ini akan tiada.” Sesungguhnya yang saya maksudkan adalah Pak Harto. Hanya saja, saya sengaja membuatnya lebih “bercabang”, sebab saya tidak mau dituding mendahului Tuhan.
Kembali ke cerita semula. Seusai perhelatan akbar tersebut, separuh dari bangsa manusia yang hadir dalam perhelatan ini, mulai berusaha mendekati Ki Panjalu. Seperti saya katakan, bahwa sinar berwarna kuning keemasan itu jatuh ke pangkuan Ki Panjalu. Dan ternyata sinar itu adalah berupa mustika yang disebut sebagai Dampar Emas.
Semua yang hadir dalam perhelatan itu ingin ngalap barokah dari karomah mustika yang sangat langka tersebut. Namun karena sifat nyelenehnya, Ki Panjalu malah berkelakar seenaknya, “Iki watu Pak Harto, kowe kabeh ora entuk bagian mung aku lan siji santriku. Iki watu arep tak ijoli ayam sing akeh, mben manganku saban dinane karo lauk ayam (Ini batu kepunyaan Pak Harto, kamu semua tidak dapat bagian kecuali aku dan satu santriku. Ini batu mau saya tukar dengan ayam yang banyak (bikin ternak ayam) agar setiap hari aku selalu makan dengan lauk ayam.”
Setelah berkata demikian, guruku berbisik di telingaku, “Coba kau tawar batu ini semampu yang kau punya. Dan kalau bisa, batu itu harus jadi milikmu sebagai jalan derajat di dunia.”
Setelah mendapatkan titah demikian, dengan rasa setengah hati, karena malu masih banyaknya orang di sekitar kami, saya memberanikan diri menawar batu tersebut. Saya pun berbisik ke telinga Ki Panjalu, berniay mengajukan penawaran.
Anehnya, belum lagi saya ngomong, Ki Panjalu sudah berbicara dengan suara keras, “Kowe arep tuku batu iki? Piro? (Kamu mau membeli batu ini? Berapa?”
Mendengar suara Ki Panjalu yang jelas ditujukan padaku, maka membuat semua orang disitu tertawa terbahak-bahak. Tak ayal lagi, wajah saya pun langsung merah padam karenanya.
Untungnya, saya masih punya sedikit keberanian. Telanjur malu, dengan suara agak lancing saya pun mengajukan harga penawaran kepada Ki Panjalu, meski disaksikan oleh orang banyak.
“Maaf, Ki! Aku berani bayar 12 juta untuk batu itu,” kataku dengan suara agak lantang.
Sambil tertawa jenaka, Ki Panjalu berujar, “Iku durung entuk ayam sekandang, Cung?” (Itu belum dapat ayam satu kandang, Cung). Untuk kedua kalinya saya jadi malu sendiri.
Tawar menawar ini akhirnya memang gagal, sebab Ki Panjalu selalu saja membawanya kea rah percandaan. Tapi Alhamdulillah, Ki Panjalu mau memberikan karomah Mustika Dampar Emas lewat sarana air putih, sehingga semua yang hadir di situ mendapatkan karomah dari mustika yang sangat langka tersebut.
Tak berapa lama kemudian, sang guru mengajakku segera pulang. Sebelum meninggalkan tempat itu, satu persatu saya menjabat dan mencium tangan mereka. Ketika saya bersalaman dengan Ki Panjalu, beliau berbisik di telingaku, “Iki aku njaluk tolong karo kowe, Cung! Gawe no’ mban kang apik sak durunge dijolih karo ayam, aku pengen ngenggo sih. Gelem, yo? (Ini aku minta tolong sama kamu, bikinlah cincin yang bagus. Sebelum batu ini ditukar ayam, aku ingin memakainya dulu. Mau ya?)” Sambil berkata demikian Ki Panjalu menyerahkan batu hitam berurat emas itu.
Saya pun mengangguk tanda setuju,
“Pirang dina iki dadine, mben aku iso nunggu neng kene (Berapa hari cincin ini jadinya? Agar aku bisa menunggu di sini)?” Tanya Ki Panjalu/
Akhirnya, saya memberikan kesepakatan waktu satu minggu.
Di luar dugaan saya, ternyata tiga hari sejak pemesaran, cincin sudah jadi dan langsung di antar ke rumah saya. Wow, betapa indahnya. Tepat pada hari yang ke tujuh, atau seminggu, sesuai dengan perjanjian, saya langsung ke Masjid Agung Sang Cipta Rasa, dengan masud ingin memberikan cincin Mustika Dampar Emas yang sudah jadi kepada pemiliknya, Ki Panjalu.
Hampir seharian saya menunggu Ki Panjalu, namun sosok eksentrik itu tidak juga nampak batang hidungnya. Yang datang justeru Mbah Qoiyyu, yang langsung memberikan secarik surat kepadaku.
“Cung, tiga hari sepulang dari sini, murid Ki Panjalu datang ke sini dan memberikan surat ini untukmu. Muridnya itu mengabarkan bahwa Ki Panjalu telah meninggal dunia secara mendadak. Kini beliau dimakamkan di daerah Cikeas, Bogor!” Beri tahu Mbah Qoiyyu yang memang sering tirakat di Masjid Agung Sang Cipta Rasa.
Innalillahi wa inna ilahi rajiun! Saya sampai tertegun dan seolah tak percaya dengan apa yang disampaikan oleh Mbah Qoiyyu.
Lalu, saya teringat dengan cincin Mustika Dampar Emas kepunyaan Ki Panjalu, yang sudah selesai saya buatkan ikatannya. “Mbah Qoiyyu, tolong serahkan cincin ini pada muridnya Ki Panjalu, karena sesungguhnya dialah yang berhak mewarisnya,” pintaku.
Dengan seulas senyum penuh makna, Mbah Qoiyyu malah berkata begini, “Bukalah surat itu, semoga beliau (Ki Panjalu) sudah menjabarkannya.”
Dengan hati berdebar-debar, saya akhirnya membuka surat pemberian Ki Panjalu, yang ternyata menggunakan huruf Arab itu. Isinya sebagai berikut;
“Assalammu’alaikum wr wb. Cung, titip kiwatu ning rong bagian. Ternak lan rosyid. Wassalam. Panjalu (Assalammu’alaikum wr wb. Mas, saya titip batu ini untuk dua hal, satu ternak, dua petunjuk).”
Jika ditafsirkan, ternak sama dengan syariat lahir, sedangkan petunjuk sama dengan buah dari kemuliaan.
Begitulah. Sepulang dari Masjid Agung Sang Cipta Rasa, saya langsung masuk kamar dan terus mendoakan Ki Panjalu dengan berkirim Ummul Qur’an ke hadirat Illahi Rabbi. Ya, semoga Ki Panjalu diterima di sisiNya. Amin.
Malam harinya, saya masih larut dalam doa dan mengirim puji-pujian, dalam kesedihan untuk terus mendoakan Ki Panjalu, tiba-tiba saya dikejutkan oleh suara benda jatuh dari atas langit-langit kamar. Subhanallah! Di depan Misteri telah tergeletak satu buah delima merah ranum, dan sebongkah kantong kecil air yang tertutup bahan kulit yang sangat tipis.
Di saat buah delima itu saya buang, ternyata di dalamnya ada dua biji batu berwarna merah sebesar biji delima. Dan di saat kantong air tadi saya buka, ternyata di dalamnya terdapat wadah kecil berisi minyak yang aromanya wangi semerbak.
“Subhanallah! Apa maksud semua ini?” Batin saya.
Setelah kemangkatan Pak Harto pada Minggu 27 Januari lalu, saya mimpi bertemu dengan Ki Panjalu yang datang bersama Pak Harto. Akhirnya, saya baru paham bahwa semua benda tersebut ternyata adalah kepunyaan dari Bapak HM. Soeharto. Dan lewat amanatnya, saya hanya sekedar menyampaikan bahwa benda-benda tersebut boleh diambil sebelum 41 hari sejak meninggalnya HM. Soeharto, yaitu oleh anak tertuanya.
Sesuai dengan wasiat gaib yang saya peroleh, bila lebih dari waktu yang telah ditentukan, maka saya mohon maaf kepada seluruh zuriat almarhum Pak Harto, bahwa barang-barang itu akan dihibahkan kepada pihak lain, sebagaimana amanat dari Bapak HM. Soeharto sendiri.
Begitulah wasiat gaib yang saya peroleh. Perlu saya tegaskan sekali lagi: SAYA TIDAK BERMAKSUD MENEBAR SENSASI. Karena itu, bagi yang berseberangan dengan keyakinan ini, maka saya mohon maaf atas tulisan ini. Tujuan saya semata-mata hanya ingin menyampaikan amanat almarhum Pak Harto.
Mengapa saya tidak menyampaikannya secara langsung kepada pihak keluarga almarhum? Dengan penuh kerendahan hati saya katakan, bahwa saya tidak mungkin bisa menemui keluarganya karena sudah barang tentu mereka juga tidak mungkin mengenal saya.
Demikianlah yang dapat saya sampaikan. Semoga hal ini menjadi sebuah bukti kecintaan saya terhadap almarhum HM. Soeharto. Kepada seluruh zuriatnya, saya mohon dibukakan pintu maaf yang selebar-lebarnya apabila ada kesalahan kata-kata dalam tulisan ini. Terima kasih.
Kisah Mistis Bung Karno dan Pusaka Gaib
Ditengah derasnya hujan angin, sosok bung Karno yang kala itu masih
menjadi bocah angon berlari kecil menelusuri jalan setapak menuju bukit
gorong, yang terletak disebelah kanan sungai Penyu Cilacap, Jawa
tengah. Beliau membawa satu amanat dari salah satu gurunya KH. Rifai bin
Soleh Al Yamani (Hadrotul maut), Banyuwangi, Jawa Timur.
Sebagai seorang pemikir handal yang mempercayai suatu kehidupan alam lain, beliau kerap mengasingkan diri dalam fenomena yang tak layak pada umumnya, yaitu selalu bertirakat dari satu gua kumuh, bebukitan terjal , hutan belantara hingga tempat wingit lainnya.
Kisah ini terjadi pada jum’at legi, bulan maulud 1937H. Berawal dari sebuah mimpi yang dialaminya. Di suatu malam, beliau didatangi seekor naga besar yang ingin ikut serta mendampingi hidupnya. Naga itu mengenalkan dirinya bernama, Sanca Manik Kali Penyu, yang tinggal didalam bukit Gorong, kepunyaan dari Ibu Ratu Nyi Blorong, yang melegendaris.
Dengan kejelasan mimpinya, Bung Karno, langsung menemui KH. Rifai, yang kala itu sangat masyhur namanya. Lalu sang kyai memberinya berupa amalan atau sejenis doa Basmalah, yang konon bisa mewujudkan benda gaib menjadi nyata.
Lewat suatu komtemplasi dan prosesi ritual panjang, akhirnya Bung Karno, ditemui sosok wanita cantik yang tak lain adalah Nyi Blorong sendiri.
"Andika!! Derajatmu wes tibo neng arep, siap nampi mahkota loro, lan iki mung ibu iso ngai bibit kejembaran soko nagara derajat, kang manfaati soko derajatmu ugo wibowo lan rejekimu serto asih penanggihan" terang Nyi Blorong.
Yang arti dari ucapan tadi kurang lebihnya; "Anakku!! Sebentar lagi kamu akan menjadi manusia yang mempunyai dua derajat sekaligus (Pemimpin umat manusia dan bangsa gaib yang disebut sebagai istilah/ Rijalul gaib). Saya hanya bisa memberikan sebuah mustika yang manfaatnya sebagai, ketenangan hatimu, keluhuran derajat, wibawa, kerejekian serta pengasihan yang akan membawamu dipermudah dalam segala tujuan"
Mustika yang dimaksud tak lain berupa paku bumi, jelmaan dari seekor naga sakti, Sanca Manik, yang didalam mulutnya terdapat satu buah batu merah delima bulat berwarna merah putih crystal.(Bisa dilihat dalam gambar atas) symbol dari bendera merah putih/ negara Indonesia.
Sebagai sosok mumpuni sekaligus hobbiis dalam dunia supranatural, (7) bulan, dari kedapatan mustika Sanca Manik, beliau pun bermimpi kembali. Yang mana didalam mimpinya sosok Kanjeng Sunan KaliJaga beserta ibu Ratu Kidul Pajajaran (suami istri) menyuruh Bung Karno, datang ke bukit Tinggi Pelabuhan Ratu, Sukabumi- Jawa Barat.
"Datanglah Nak ketempatku!!! Kusiapkan jodoh dari pemberian Putranda (Nyi Blorong) yang kini telah kau terima, tak pantas melati tanpa kembang kenanga, lelaki tanpa adanya wanita"
Tentunya sebagai seorang yang berpengalaman dalam pengolahan bathiniyah, Bung Karno, adalah salah satu bocah yang sangat paham akan makna sebuah mimpi. Dalam hal ini beliau menyakini bahwa mimpi yang barusan dialaminya adalah bagian dari kebenaran.
Dengan meminta bantuan kepada, Kartolo Harjo, asal dari kota Pekalongan, yang kala itu dianggap orang paling kaya, merekapun hari itu juga langsung menuju lokasi yang dimaksud, dengan membawa sedan cw keluaran tahun 1889.
Kisah perjalanan menuju Pelabuhan Ratu, ini cukup memakan waktu panjang, pasalnya disetiap daerah yang dilaluinya Bung Karno, selalu diberhentikan oleh seseorang yang tidak dikenal.
Mereka berebut memberikan sesuatu pada sosok kharismatik berupa pusaka maupun bentuk mustika. Hal semacam ini sudah sewajarnya dalam dunia keparanormalan sejak zaman dahulu kala, dimana ada sosok yang bakal menjadi cikal seorang pemimpin, maka seluruh bangsa gaibiah akan dengan antusiasnya berebut memamerkan dirinya untuk bisa sedekat mungkin dengannya.
Untuk mengungkapkan lebih lanjut perjalanan Bung Karno menuju Pelabuhan Ratu, yang dimulai pada hari Kamis pon, ba’da subuh, Syawal 1938H, pertama kalinya perjalanan ini dimulai dari kota Klaten Jawa Tengah.
Ditengah hutan Roban, Semarang, beliau diminta turun oleh sosok hitam berambut jambul, yang mengaku bernama, Setopati asal dari bangsa jin, dan memberikan pusaka berupa cundrik kecil, berpamor Madura dengan besi warna hitam legam. Manfaatnya, sebagai wasilah bisa menghilang.
Juga saat melintas kota Brebes dan Cirebon, beliau disuruh turun oleh (empat) orang yang tidak dikenal
1. Bernama kyai Paksa Jagat, dari bangsa Sanghiyang, memberikan sebuah keris berluk- 5, manfaatnya sebagai wasilah, tidak bisa dikalahkan dalam beragumen.
2. Bernama Nyai sempono, asal dari Selat Malaka, yang ngahyang sewaktu kejadian Majapahit dikalahkan oleh Demak Bintoro, beliau memberikan sebuah tusuk konde yang dinamai, Paku Raksa Bumi, manfaatnya, mempengaruhi pikiran manusia.
3. Bernama Kyai Aji, asal dari siluman Seleman, beliau memberikan sebuah pusaka berupa taring macan, manfaatnya, sebagai kharisma dan kedudukan derajat.
4. Bernama Ki Jaga Rana, memberikan sebuah batu mustika koplak, berwarna merah cabe, manfaatnya sebagai daya tahan tubuh dari segala cuaca.
Lalu saat melintas hutan Tomo Sumedang, beliaupun dihadang oleh seorang nenek renta yang mengharuskannya turun dari mobil, mulanya Bung Karno, enggan turun, namun saat melaluinya untuk terus melajukan mobil yang dikendarinya, ternyata mobil tersebut tidak bisa jalan sama sekali, disitu beliau diberikan satu buah mustika Yaman Ampal, sebagai wasilah kebal segala senjata tajam.
Juga saat melintas digerbang perbatasan Sukabumi, beliau dihadang oleh segerombolan babi hutan, yang ternyata secara terpisah, salah satu dari binatang tadi meninggalkan satu buah mustika yang memancarkan sinar kemerahan berupa cungkup kecil yang didalamnya terdapat satu buah batu merah delima mungil.
Sesampainya ditempat yang dituju, Bung Karno dan temanya mulai mempersiapkan rambe rompe berupa sesajen sepati, sebagai satu penghormatan kepada seluruh bangsa gaib yang ada ditempat itu, tepatnya malam rabo kliwon, Bung Karno, mulai mengadakan ritual khususiah secara terpisah dengan temannya, semua ini beliau lakukan agar jangan sampai menggangu satu sama lainnya dalam aktifitas menuju suatu penghormatan kepada bangsa gaib yang mengundangnya.
Dua malam beliau melakukan ritual tapa brata, dengan cara sikep kejawen yang biasa dilakukannya saat menghadapi penghormatan kepada bangsa gaib, lepas pukul 24.00, seorang bersorban dan wanita cantik yang tiada tara datang menghampirinya, mereka berdua tak lain adalah Sunan kaliJaga dan Nyimas Nawang wulan Sari Pajajaran, yang sengaja mengundangnya.
"Anakku!!! Dalam menghadapi peranmu yang sebentar lagi dimulai, Ibu hanya bisa memberikan sementara sejodoh mustika yang diambil dari dasar laut Nirsarimayu (dasar laut pantai selatan sebelah timur kaputrennya) ini mustika jadohnya dari yang sudah kamu pegang saat ini,gunakanlah mustika ini sebagai wasilah kerejekian guna membantu orang yang tidak mampu, sebab inti dari kekuataqn yangterkandung didalamnya, bisa memudahkan segala urusan duniawiah sesulit apapun" Lalu setelah berucap demikian, kedua sang tokoh pun langsung menghilang dfari pandangannya.
Kini tinggal Bung karno, sendirian yang langsung menelaah segala ucapan dari Ibu Ratu, barusan.
Di dalam tatacara ilmu supranatural, cara yang dilakukan oleh Bung karno, diam menafakuri setelah kedapatan hadiah dari bangsa gaib tanpa harus meninggalkan tempat komtemplasi terlebih dahulu, adalah suatu tatakrama yang sangat dihormati oleh seluruh bangsa gaib dan itu dinamakan, Sikep undur/ tatkrama perpisahan.
Dari kejadian itu Bung Karno, langsung mengambil sikap diam dalam perjalanan pulang sambil berpuasa hingga sampai rumah/ tempat kembali semula, cara seperti ini disebut sebagai, Ngaulo hamba/ mentaati pelaturan gaib supaya apa yang sudah dimilikinya bisa bermanfaat lahir dan bathin.
Dalam kisah ini bisa diaambil kesimpulan bahwa, segala sesuatunya bisa bermanfaat, apabila disertai kerja keras dan tetap memegang penghormatan dalam menggunakan apapun yang bersifat gaibiyah, bukan malah sebaliknya, digunakan terhadap tujuan yang kurang bermanfaat atau banyaknya berandai- andai yang mengakibatkan kita jadi malas.
Kisah ini sudah mendapatkan ijin dari Ahlul Khosois, Habib Umar bin Yahya, Pekalongan, habib Nawawi Cirebon, Habib Nur, Indramayu dan Mbah Moh, dari Pertanahan Kebumen Jawa Tengah. Semoga yang kami uraikan tadi bisa diambil hikmah dan manfaatnya.
Sebagai seorang pemikir handal yang mempercayai suatu kehidupan alam lain, beliau kerap mengasingkan diri dalam fenomena yang tak layak pada umumnya, yaitu selalu bertirakat dari satu gua kumuh, bebukitan terjal , hutan belantara hingga tempat wingit lainnya.
Kisah ini terjadi pada jum’at legi, bulan maulud 1937H. Berawal dari sebuah mimpi yang dialaminya. Di suatu malam, beliau didatangi seekor naga besar yang ingin ikut serta mendampingi hidupnya. Naga itu mengenalkan dirinya bernama, Sanca Manik Kali Penyu, yang tinggal didalam bukit Gorong, kepunyaan dari Ibu Ratu Nyi Blorong, yang melegendaris.
Dengan kejelasan mimpinya, Bung Karno, langsung menemui KH. Rifai, yang kala itu sangat masyhur namanya. Lalu sang kyai memberinya berupa amalan atau sejenis doa Basmalah, yang konon bisa mewujudkan benda gaib menjadi nyata.
Lewat suatu komtemplasi dan prosesi ritual panjang, akhirnya Bung Karno, ditemui sosok wanita cantik yang tak lain adalah Nyi Blorong sendiri.
"Andika!! Derajatmu wes tibo neng arep, siap nampi mahkota loro, lan iki mung ibu iso ngai bibit kejembaran soko nagara derajat, kang manfaati soko derajatmu ugo wibowo lan rejekimu serto asih penanggihan" terang Nyi Blorong.
Yang arti dari ucapan tadi kurang lebihnya; "Anakku!! Sebentar lagi kamu akan menjadi manusia yang mempunyai dua derajat sekaligus (Pemimpin umat manusia dan bangsa gaib yang disebut sebagai istilah/ Rijalul gaib). Saya hanya bisa memberikan sebuah mustika yang manfaatnya sebagai, ketenangan hatimu, keluhuran derajat, wibawa, kerejekian serta pengasihan yang akan membawamu dipermudah dalam segala tujuan"
Mustika yang dimaksud tak lain berupa paku bumi, jelmaan dari seekor naga sakti, Sanca Manik, yang didalam mulutnya terdapat satu buah batu merah delima bulat berwarna merah putih crystal.(Bisa dilihat dalam gambar atas) symbol dari bendera merah putih/ negara Indonesia.
Sebagai sosok mumpuni sekaligus hobbiis dalam dunia supranatural, (7) bulan, dari kedapatan mustika Sanca Manik, beliau pun bermimpi kembali. Yang mana didalam mimpinya sosok Kanjeng Sunan KaliJaga beserta ibu Ratu Kidul Pajajaran (suami istri) menyuruh Bung Karno, datang ke bukit Tinggi Pelabuhan Ratu, Sukabumi- Jawa Barat.
"Datanglah Nak ketempatku!!! Kusiapkan jodoh dari pemberian Putranda (Nyi Blorong) yang kini telah kau terima, tak pantas melati tanpa kembang kenanga, lelaki tanpa adanya wanita"
Tentunya sebagai seorang yang berpengalaman dalam pengolahan bathiniyah, Bung Karno, adalah salah satu bocah yang sangat paham akan makna sebuah mimpi. Dalam hal ini beliau menyakini bahwa mimpi yang barusan dialaminya adalah bagian dari kebenaran.
Dengan meminta bantuan kepada, Kartolo Harjo, asal dari kota Pekalongan, yang kala itu dianggap orang paling kaya, merekapun hari itu juga langsung menuju lokasi yang dimaksud, dengan membawa sedan cw keluaran tahun 1889.
Kisah perjalanan menuju Pelabuhan Ratu, ini cukup memakan waktu panjang, pasalnya disetiap daerah yang dilaluinya Bung Karno, selalu diberhentikan oleh seseorang yang tidak dikenal.
Mereka berebut memberikan sesuatu pada sosok kharismatik berupa pusaka maupun bentuk mustika. Hal semacam ini sudah sewajarnya dalam dunia keparanormalan sejak zaman dahulu kala, dimana ada sosok yang bakal menjadi cikal seorang pemimpin, maka seluruh bangsa gaibiah akan dengan antusiasnya berebut memamerkan dirinya untuk bisa sedekat mungkin dengannya.
Untuk mengungkapkan lebih lanjut perjalanan Bung Karno menuju Pelabuhan Ratu, yang dimulai pada hari Kamis pon, ba’da subuh, Syawal 1938H, pertama kalinya perjalanan ini dimulai dari kota Klaten Jawa Tengah.
Ditengah hutan Roban, Semarang, beliau diminta turun oleh sosok hitam berambut jambul, yang mengaku bernama, Setopati asal dari bangsa jin, dan memberikan pusaka berupa cundrik kecil, berpamor Madura dengan besi warna hitam legam. Manfaatnya, sebagai wasilah bisa menghilang.
Juga saat melintas kota Brebes dan Cirebon, beliau disuruh turun oleh (empat) orang yang tidak dikenal
1. Bernama kyai Paksa Jagat, dari bangsa Sanghiyang, memberikan sebuah keris berluk- 5, manfaatnya sebagai wasilah, tidak bisa dikalahkan dalam beragumen.
2. Bernama Nyai sempono, asal dari Selat Malaka, yang ngahyang sewaktu kejadian Majapahit dikalahkan oleh Demak Bintoro, beliau memberikan sebuah tusuk konde yang dinamai, Paku Raksa Bumi, manfaatnya, mempengaruhi pikiran manusia.
3. Bernama Kyai Aji, asal dari siluman Seleman, beliau memberikan sebuah pusaka berupa taring macan, manfaatnya, sebagai kharisma dan kedudukan derajat.
4. Bernama Ki Jaga Rana, memberikan sebuah batu mustika koplak, berwarna merah cabe, manfaatnya sebagai daya tahan tubuh dari segala cuaca.
Lalu saat melintas hutan Tomo Sumedang, beliaupun dihadang oleh seorang nenek renta yang mengharuskannya turun dari mobil, mulanya Bung Karno, enggan turun, namun saat melaluinya untuk terus melajukan mobil yang dikendarinya, ternyata mobil tersebut tidak bisa jalan sama sekali, disitu beliau diberikan satu buah mustika Yaman Ampal, sebagai wasilah kebal segala senjata tajam.
Juga saat melintas digerbang perbatasan Sukabumi, beliau dihadang oleh segerombolan babi hutan, yang ternyata secara terpisah, salah satu dari binatang tadi meninggalkan satu buah mustika yang memancarkan sinar kemerahan berupa cungkup kecil yang didalamnya terdapat satu buah batu merah delima mungil.
Sesampainya ditempat yang dituju, Bung Karno dan temanya mulai mempersiapkan rambe rompe berupa sesajen sepati, sebagai satu penghormatan kepada seluruh bangsa gaib yang ada ditempat itu, tepatnya malam rabo kliwon, Bung Karno, mulai mengadakan ritual khususiah secara terpisah dengan temannya, semua ini beliau lakukan agar jangan sampai menggangu satu sama lainnya dalam aktifitas menuju suatu penghormatan kepada bangsa gaib yang mengundangnya.
Dua malam beliau melakukan ritual tapa brata, dengan cara sikep kejawen yang biasa dilakukannya saat menghadapi penghormatan kepada bangsa gaib, lepas pukul 24.00, seorang bersorban dan wanita cantik yang tiada tara datang menghampirinya, mereka berdua tak lain adalah Sunan kaliJaga dan Nyimas Nawang wulan Sari Pajajaran, yang sengaja mengundangnya.
"Anakku!!! Dalam menghadapi peranmu yang sebentar lagi dimulai, Ibu hanya bisa memberikan sementara sejodoh mustika yang diambil dari dasar laut Nirsarimayu (dasar laut pantai selatan sebelah timur kaputrennya) ini mustika jadohnya dari yang sudah kamu pegang saat ini,gunakanlah mustika ini sebagai wasilah kerejekian guna membantu orang yang tidak mampu, sebab inti dari kekuataqn yangterkandung didalamnya, bisa memudahkan segala urusan duniawiah sesulit apapun" Lalu setelah berucap demikian, kedua sang tokoh pun langsung menghilang dfari pandangannya.
Kini tinggal Bung karno, sendirian yang langsung menelaah segala ucapan dari Ibu Ratu, barusan.
Di dalam tatacara ilmu supranatural, cara yang dilakukan oleh Bung karno, diam menafakuri setelah kedapatan hadiah dari bangsa gaib tanpa harus meninggalkan tempat komtemplasi terlebih dahulu, adalah suatu tatakrama yang sangat dihormati oleh seluruh bangsa gaib dan itu dinamakan, Sikep undur/ tatkrama perpisahan.
Dari kejadian itu Bung Karno, langsung mengambil sikap diam dalam perjalanan pulang sambil berpuasa hingga sampai rumah/ tempat kembali semula, cara seperti ini disebut sebagai, Ngaulo hamba/ mentaati pelaturan gaib supaya apa yang sudah dimilikinya bisa bermanfaat lahir dan bathin.
Dalam kisah ini bisa diaambil kesimpulan bahwa, segala sesuatunya bisa bermanfaat, apabila disertai kerja keras dan tetap memegang penghormatan dalam menggunakan apapun yang bersifat gaibiyah, bukan malah sebaliknya, digunakan terhadap tujuan yang kurang bermanfaat atau banyaknya berandai- andai yang mengakibatkan kita jadi malas.
Kisah ini sudah mendapatkan ijin dari Ahlul Khosois, Habib Umar bin Yahya, Pekalongan, habib Nawawi Cirebon, Habib Nur, Indramayu dan Mbah Moh, dari Pertanahan Kebumen Jawa Tengah. Semoga yang kami uraikan tadi bisa diambil hikmah dan manfaatnya.
Kisah Syekh Subakir & Tombak Kyai Panjang – Hikayat Gunung Tidar, Magelang
Di Magelang terdapat sebuah bukit yang
berada di tengah-tengah kota. Bukit itu sangat terkenal karena menjadi
salah satu tempaan para taruna AKABRI. Bahkan bukit itu menjadi salah
satu ciri khas kota itu. Namanya bukit Tidar, atau lebih dikenal sebagai
Gunung Tidar. Konon Gunung Tidar merupakan pusat atau titik tengah
Pulau Jawa.
Syahdan, dahulu kala Tanah Jawa ini
masih berupa hutan belantara yang tiada seorangpun berani tinggal di
sana. Sebagian besar wilayah Jawa ini dahulu masih
dikuasai berbagai makhluk halus. Konon Tanah Jawa yang dikelilingi laut
ini bak perahu yang mudah oleng oleh ombak laut yang besar. Maka
melihat itu para dewata segera mencari cara untuk mengatasinya.
Maka berkumpullah para dewa untuk
membahas persoalan Tanah Jawa yang tidak pernah tenang oleh hantaman
ombak itu. Diutuslah sejumlah dewa untuk tugas menenangkan pulau ini.
Mereka membawa sejumlah bala tentara menuju Pulau Jawa sebelah barat.
Namun, tiba-tiba Pulau Jawa kembali oleng dan berat sebelah karena para
dewa dan bala tentara hanya menempati wilayah barat. Agar seimbang,
sebagian dikirim ke timur. Namun usaha ini tetap gagal.
Melihat kenyataan itu maka para dewa
sibuk mencari jalan pemecahan. Setelah beberapa waktu berembug, maka
didapatkanlah sebuah ide cemerlang. Mau tak mau para dewa harus
menciptakan sebuah paku raksasa, dan paku itu akan ditancapkan di pusat
Tanah Jawa, yaitu titik tengah yang dapat menjadikan Pulau Jawa
seimbang. Paku raksasa yang ditancapkan itu konon dipercaya sebagian
masyarakat sebagai Gunung Tidar. Dan setelah paku raksasa itu
ditancapkan, Pulau Jawa menjadi tenang dari hantaman ombak.
Menurut kepercayaan sebagian masyarakat,
Gunung Tidar pada mulanya hanya ditinggali oleh para jin dan setan yang
konon dipimpin oleh salah satu jin bernama Kiai Semar. Kiai Semar tidak
sama dengan tokoh Semar dalam dunia pewayangan. Kiai Semar yang
menguasai Gunung Tidar ini konon jin sakti yang terkenal seram. Setiap
ada manusia yang mencoba untuk tinggal di sekitar Gunung Tidar, maka tak
segan Kiai Semar mengutus anak buahnya yang berupa raksasa-raksasa dan
genderuwo untuk memangsanya.
Alkisah, datanglah seorang manusia yang
terkenal berani untuk mencoba membuka wilayah Tidar untuk ditinggali.
Ksatria berani ini berasal dari tanah jauh. Konon ia berasal dari negeri
Turki, bernama Syekh Bakir dan ditemani Syekh Jangkung. Kedua syekh ini
disertai juga oleh tujuh pasang manusia, dengan harapan dapat
mengembangkan masyarakat yang kelek mendiami wilayah itu.
Mendengar kabar itu, Kiai Semar murka.
Diseranglah mereka oleh anak buah Kiai Semar, dan tiada seorangpun yang
selamat kecuali Syekh Bakir yang sakti, soleh, dan sabar. Setelah
bertapa selama 40 hari 40 malam, ia bertemu dengan Kiai Semar.
“Hei, Ki Sanak, berani benar kau berada
di wilayah kekuasaanku tanpa permisi. Siapakah engkau dan apa maumu
berada di wilayah ini,” kata Kiai Semar.
“Duh penguasa wilayah Tidar, ketahuilah
olehmu bahwa namaku Syekh Bakir, asalku dari negeri Turki nun jauh di
sana. Adapun kedatanganku kemari untuk membuka tempat dan aku akan
tinggal di sini bersama saudara dan sahabatku,” jawab Syekh Bakir dengan
tenang.
“Adakah kau tahu bahwa daerah ini adalah
daerah kekuasaanku? Siapapun tak boleh tinggal di sini. Jika tiada
peduli, maka akau akan mnegutus anak buahku untuk menumpas kalian tanpa
sisa.”
“Hai engkau yang mengaku sebagai
penguasa Gunung Tidar, tidakkah kau tahu bahwa tiada yang dapat melebihi
kekuasaan Allah? Allah menciptakan manusia untuk menjaga dan memelihara
alam semesta ini, bukan untuk menguasainya secara semena-mena,” kata
Syekh Bakir.
“Hei manusia, sebelum kemarahanku
memuncak, tinggalkan tempat ini! Ketahuilah bahwa tempat ini sudah
menjadi milikku, dan jangan mencoba merampasnya.” Syekh Bakir terdiam.
Mendengar ancaman Kiai Semar, ia lalu
mengalah. Tetapi bukan berarti ia menyerah kalah. Tetapi sebaliknya
Syekh Bakir hendak menyiapkan diri lebih baik untuk mengalahkan Kiai
Semar dan bala tentaranya.
Sesampai di negeri Turki, ia mengambil
sebuah tombak sakti yang bernama Kiai Panjang. Selain itu, iapun
menyiapkan lebih banyak lagi manusia yang akan diajak serta untuk
membuka tempat tinggal baru di Tidar.
Sesampai kembali di Tidar,
berpasang-pasang manusia yang diajak serta oleh Syekh Bakir tinggal
lebih dulu di daerah sebelah timur Gunung Tidar yang sekarang dikenal
dengan nama desa Trunan. Konon desa itu berasal dari makna “turunan”.
Ada yang mengatakan arti dari turunan itu adalah keturunan, tetapi ada
yang menganggapnya sebagai daerah pertama kali sahabat-sahabat Syekh
Bakir diturunkan dan tinggal di tempat itu untuk sementara waktu.
Setelah itu Syekh Bakir berangkat
sendiri ke puncak Gunung Tidar untuk bersemadi. Tombak pusaka sakti
Syekh Bakir ditancapkan tepat di puncak Tidar sebagai penolak bala. Dan
benar, tombak sakti itu menciptakan hawa panas yang bukan main bagi Kiai
Semar dan wadyabalanya.
Merekapun lari tunggang langgang
meninggalkan Gunung Tidar. Kiai Semar dan sebagian tentaranya melarikan
diri ke timur dan konon hingga sekarang menempati daerah Gunung Merapi
yang masih dipercaya sebagian masyarakat sebagai wilayah yang angker.
Bahkan sebagian lagi anak buah Kiai Semar ada yang melarikan diri ke
alas Roban, bahkan ke Gunung Srandil. Tombak itu sekarang masih dijaga
oleh masyarakat dan dimakamkan di puncak Gunung Tidar dengan nama Makam
Tombak Kiai Panjang.
Dengan adanya tombak sakti itu, maka
amanlah Gunung Tidar dari kekuasaan para jin dan makhluk halus. Syekh
Bakirpun akhirnya memboyong sahabat-sahabatnya untuk membuka tempat
tinggal baru di Gunung Tidar dan sekitarnya.
———————— Kisah lainnya :
GUNUNG TIDAR
Gunung Tidar adalah
gunung di Kota Magelang Jawa Tengah. Gunung ini tidak dapat dipisahkan
dengan pendidikan militer. Gunung yang dalam legenda dikenal sebagai
“Pakunya tanah Jawa” itu terletak di tengah Kota Magelang. Berada pada
ketinggian 503 meter dari permukaan laut, Gunung Tidar memiliki sejarah
dalam perjuangan bangsa. Di Lembah Tidar itulah Akademi Militer sebagai
kawah candradimuka yang mencetak perwira pejuang Sapta Marga berdiri
pada 11 November 1957.
ASAL NAMA TIDAR
Asal muasal nama Tidar sendiri banyak
versi. Ada salah satu versi yang menyebutkan bahwa nama itu berasal dari
kata “Mati dan Modar”. Jadi karena angkernya Gunung Tidar waktu dulu,
maka kalau ada orang mendatangi gunung tersebut kalau tidak Mati ya
Modar.
3 SITUS MAKAM GUNUNG TIDAR
Hanya butuh waktu kurang dari 30 menit
untuk sampai di puncak Tidar. Secara umum, Gunung Tidar memang masih
cukup alami. Banyak tanaman pinus dan tanaman buah-buahan tahunan
seperti salak hasil penghijauan era tahun 1960an menjadikan Gunung Tidar
sangat rimbun.
Beberapa saat menapaki jalanan setapak
pendakian kita akan bertemu dengan Makam Syaikh Subakir. Konon Syaikh
Subakir adalah penakluk Gunung Tidar yang pertama kali dengan
mengalahkan para jin penunggu Gunung Tidar tersebut. Menurut legenda
(hikayat) Gunung Tidar, Syaikh Subakir berasal dari negeri Turki yang
datang ke Gunung Tidar bersama kawannya yang bernama Syaikh Jangkung
untuk menyebarkan agama Islam.
Tidak jauh dari Makam Syaikh Subakir,
kita akan berjumpa dengan sebuah makam yang panjangnya mencapai 7 meter.
Itulah Makam Kyai Sepanjang. Kyai Sepanjang bukanlah sesosok alim
ulama, namun adalah nama tombak yang dibawa dan dipergunakan oleh Syaikh
Subakir mengalahkan jin penunggu Gunung Tidar kala itu.
Situs makam terakhir yang kita jumpai
sewaktu mendaki Gunung Tidar adalah Makam Kyai Semar. Namun menurut
beberapa versi ini bukanlah makam kyai Semar yang ada dalam pewayangan.
Tetapi Kyai Semar, jin penunggu Gunung Tidar waktu itu. Meski demikian
banyak yang percaya ini memang makam Kyai Semar yang ada dalam
pewayangan itu. Dan mana yang benar, adalah tinggal kita mau mempercayai
yang mana.
PAKU TANAH JAWA
Di puncak Gunung Tidar ada lapangan yang
cukup luas. Di tengah lapangan tersebut terdapat sebuah Tugu dengan
simbol huruf Sa (dibaca seperti pada kata Solok) dalam tulisan Jawa pada
tiga sisinya. Menurut penuturan juru kunci, itu bermakna Sapa Salah Seleh
(Siapa Salah Ketahuan Salahnya). Tugu inilah yang dipercaya sebagian
orang sebagai Pakunya Tanah Jawa, yang membuat tanah Jawa tetap tenang
dan aman.
———————— Kisah lainnya :
Syekh Subakir, sangat
berjasa dalam menumbali tanah Jawa, ”Dalam legenda yang beredar di Pulau
Jawa dikisahkan, Sudah beberapa kali utusan dari Negeri Arab, untuk
menyebarkan Agama Islam di tanah Jawa khususnya, dan Indonesia pada
umumnya tapi telah gagal secara makro. Disebabkan orang-orang Jawa pada
waktu itu masih kokoh memegang kepercayaan lama. Dengan tokoh-tokoh
gaibnya masih sangat menguasai bumi dan laut di sekitar P Jawa. Para
ulama yang dikirim untuk menyebarkan Agama Islam mendapat halangan yang
sangat berat, meskipun berkembang tetapi hanya dalam lingkungan yang
kecil, tidak bisa berkembang secara luas. Secara makro dapat dikatakan
gagal. Maka diutuslah Syekh Subakir untuk menyebarkan agama Islam dengan
membawa batu hitam yang dipasang oleh Syekh Subakir di seantero
Nusantara, untuk tanah Jawa diletakkan di tengah-tengahnya yaitu di
gunung Tidar . Efek dari kekuatan gaib suci yang dimunculkan oleh batu
hitam menimbulkan gejolak, mengamuklah para mahluk : Jin, setan dan
mahluk halus lainnya. Syekh Subakir lah yang mampu meredam amukan dari
mereka. Akan tetapi mereka sesumbar dengan berkata: “ Walaupun kamu
sudah mampu meredam amukan kami, kamu dapat mengembangkan agama Islam di
tanah Jawa, tetapi Kodratullah tetap masih berlaku atas ku, ingat itu
wahai Syeh Subakir.” “Apa itu?” kata Syekh Subakir. Kata Jin, “Aku masih
dibolehkan untuk menggoda manusia, termasuk orang-orang Islam yang
imannya masih lemah”.
Syekh Subakir berasal dari Iran ( dalam
riwayat lain Syekh Subakir berasal dari Rum). Syekh Subakir diutus ke
Tanah Jawa bersama-sama dengan Wali Songo Periode Pertama, yang diutus
oleh Sultan Muhammad I dari Istambul, Turkey, untuk berdakwah di pulau
Jawa pada tahun 1404, mereka diantaranya:
1. Maulana Malik Ibrahim, berasal dari Turki, ahli mengatur negara.
2. Maulana Ishaq, berasal dari Samarkand, Rusia Selatan, ahli pengobatan.
3. Maulana Ahmad Jumadil Kubro, dari Mesir.
4. Maulana Muhammad Al Maghrobi, berasal dari Maroko.
5. Maulana Malik Isro’il, dari Turki, ahli mengatur negara.
6. Maulana Muhammad Ali Akbar, dari Persia (Iran), ahli pengobatan.
7. Maulana Hasanudin, dari Palestina.
8. Maulana Aliyudin, dari Palestina.
9. Syekh Subakir, dari Iran, Ahli menumbali daerah yang angker yang dihuni jin jahat.
Kisah Para Tokoh Purwa Jawa Sebelum Zaman Wali
Pulau terbesar dengan penduduknya paling banyak di seluruh Indonesia
ini, tidak menyangka, kalau dahulunya adalah pulau terkecil dan
terpecah-belah oleh persilangan laut antara utara dan selatan. Kisah
dipersatukannya seluruh pulau yang terdapat di berbagai pulau Jawa,
akibat dari kesaktian yang dimiliki oleh Brahmana Agung bernama Shang
Hyang Dewa. Konon dengan kesaktian beliau, pulau itu ditarik satu
persatu menjadi pulau terbesar dan dinamakan Bumi Ing Jowo Dwipo. Semasa
pulau ini belum terjamaah oleh manusia, para siluman dari bangsa
seleman dan togog telah lebih dulu menduduki hingga ribuan tahun
lamanya. Masa itu pulau Jawa disebut dengan nama Mokso Seleman (zaman
para lelembut). Namun setelah keturunan dari Shang Hyang Nurasa
menduduki bumi Jawa (Shang Hyang Dewa) pulau itu disebut dengan nama
bumi pengurip (bumi yang di hidupkan). Shang Hyang Dewa akhirnya moksa
di puncak Gunung Tidar, setelah beliau menyatukan berbagai bangsa
lelembut untuk menuju jalan Adil (Kebenaran), dan dari keturunannya.
Terlahir pula para Shang Hyang Agung, seperti Shang Hyang Citra Suma,
Shyang Hyang Dinata Dewa, Shang Hyang Panca Dria, yang akhirnya dari
merekalah sebuah titisan atau wasilah turun-temurun menjadi kerajaan
teragung yang absolut. Baru diabad ke 12, pulau Jawa diperluas dengan
tiga aliran yang berbeda, yaitu dengan adanya ajaran Hindu, mokso Jawi
dan Islam. Akhir dari ketiga aliran tersebut nantinya menjadi suatu
perlambangan dari perwatakan penduduk pulau Jawa hingga sekarang ini.
Dalam perluasan arti ketiga diatas, mencerminkan sebuah kehidupan
bermasyarakat gemah ripah loh jinawi. Konon ajaran ini hanya ada di
pulau Jawa dan seterusnya menyebar ke seluruh pelosok yang ada di
Indonesia, seperti ajaran Hindu misalnya, ilmu yang diajarkan oleh para
Shanghyang Dewa, ilmu, sebagai aji rrasa manunggaling agung. Lewat bait
sansekerta Yunani yang mengupas di dalamnya, kebenaran, keadilan,
kejujuran dan memahami sifat alam. Ilmu ini akhirnya diturunkan oleh
bapaknya para dewa. Raden Nurasa kepada Nabiyullah Khidir a.s. dan di
zaman Wali Songo nanti, ilmu ini dipegang dan menjadi lambang dari sifat
kependudukan masyarakat Jawa oleh tiga tokoh Waliyullah, yaitu Sunan
KaliJaga, Mbah Cakra Buana dan Khanjeng Syekh Siti Jenar. Moksa Jawi
sendiri, sebuah ilmu yang mengupas tentang kedigdayaan ilmu yang
bersumber dari raj lelembut, bernama raja lautan. ini sangat berperan
dan menjadi salah satu perwatakan masyarakat Jawa. Konon ajaran yang
tergabungn di dalamnya mengajarkan arti tirakat, mencegah hawa nafsu dan
memahami makna rohani, simbol dari ajaran ilmu ini digambarkan sebagai
bentuk keris. Keris menjadi suatu perlambang dari ajaran orang Jawa,
bermula dari seorang Empu, bernama Ki Supo Mandragini. Beliau salah satu
dari Khanjeng Sunan Ampel Denta yang diberi tugas untuk membuat sebilah
keris. Namun rupanya, pemahaman dari sang guru dan murid ini saling
berseberangan, disisi lain Sunan Ampel menginginkan sebuah pusaka berupa
sebilah pedang sebagai perlambang dari makna Islam. Namun ketidaktahuan
Ki Supo Mandragini sendiri, akhirnya beliau membuat sebilah keris
berluk 9. Keris tersebut menjadi penengah antara ajaran Islam dan Hindu
bagi orang Jawa, dengan sebutan Islam Kejawen, dan keris pembuatan Ki
Supo diberi nama Kyai Sengkelat.
Dari kedua aliran diatas, Islam telah ada di pulau Jawa sejak abad ke 9. Ajaran ini dibawa dari kota Misri oleh seorang Waliyullah Kamil Syekh Sanusi dan muridnya Muhammad Al Bakhry, dan baru mansyhur tentang ajaran Islam di pulau Jawa pada abad 13 dan 14 atau zamannya para Wali Songo. Pembedaran dari keunikan yang terdapat di pulau Jawa pada masa itu, 300 tahun sebelum Wali Songo mendudukinya, para Shanghyang maupun bangsa lelembut seleman telah mengetahui lewat sasmita gaib yang mereka terima, bahwa sebentar lagi pulau Jawa akan dibanjiri para pemimpin makhluk dari berbagai negara. Mereka dari seluruh alam berkumpul, diskusi di puncak Gunung Ciremai, pada masa itu mereka mufakat untuk mengabdi dan membantu, apabila para Waliyullah telah menduduki pulau Jawa. Namun tentunya tidak semua dari mereka setuju, sehingga perpecahan dari dua kubu yang berseberang jalan itu dinamakan Getas Kinatas (terpecahnya satu keluarga atau satu keturunan). Nanti pada akhirnya tiba, dari Shanghyang Rowis Renggo Jenggala, akan menurunkan beberapa keturunan Saktineng Paku Jawa (orang-orang sakti yang menjadi penguasa pulau Jawa) diantaranya :
Perguruan, penatas angin Pekalongan
Perguruan, Agung Waliyullah Ki Bagus Santo Pekalongan.
Perguruan, Pandarang Semarang.
Perguruan, Jambu Karang Purwokerto.
Perguruan, Daon Lumbung Cilacap, dan lain-lain
Dari kedua aliran diatas, Islam telah ada di pulau Jawa sejak abad ke 9. Ajaran ini dibawa dari kota Misri oleh seorang Waliyullah Kamil Syekh Sanusi dan muridnya Muhammad Al Bakhry, dan baru mansyhur tentang ajaran Islam di pulau Jawa pada abad 13 dan 14 atau zamannya para Wali Songo. Pembedaran dari keunikan yang terdapat di pulau Jawa pada masa itu, 300 tahun sebelum Wali Songo mendudukinya, para Shanghyang maupun bangsa lelembut seleman telah mengetahui lewat sasmita gaib yang mereka terima, bahwa sebentar lagi pulau Jawa akan dibanjiri para pemimpin makhluk dari berbagai negara. Mereka dari seluruh alam berkumpul, diskusi di puncak Gunung Ciremai, pada masa itu mereka mufakat untuk mengabdi dan membantu, apabila para Waliyullah telah menduduki pulau Jawa. Namun tentunya tidak semua dari mereka setuju, sehingga perpecahan dari dua kubu yang berseberang jalan itu dinamakan Getas Kinatas (terpecahnya satu keluarga atau satu keturunan). Nanti pada akhirnya tiba, dari Shanghyang Rowis Renggo Jenggala, akan menurunkan beberapa keturunan Saktineng Paku Jawa (orang-orang sakti yang menjadi penguasa pulau Jawa) diantaranya :
- “Arya Bengah ” yang menurunkan para putera Majapahit dan keturunannya sampai putera Mataram.
- “Ciung Wanara” yang menurunkan Lutung Kasarung hingga sampai ke silsilah Prabu Agung Galuh atau yang dikenal dengan nama Prabu Munding Wangi atau Prabu Siliwangi.
- “Nyi Mas Ratu Ayu Maharaja Sakti” menurunkan beberapa keturunan berbagai alam diantaranya “Ratu Palaga Inggris, seorang puteri cantik dari bangsa manusia, yang akhirnya dikawin oleh Prabu Siliwangi.
- “Kerta Jasa” maharaja sakti.
- “Sang Kowelan” salah satu anak dari Ratu Palaga Inggris yang berjenis bangsa lelembut, dari beliau pula ucuk umum dan Ratu Kidul dihasilkan.
- Dari “Syekh Sanusi” melahirkan ratusan Waliyullah kondang, diantaranya para Wali Irak, Yaman, Mesir, Turky, dan para Wali Jawa.
- Sih Pohaci, beliau menjaga awan dan langit.
- Sih Parjampi, beliau selalu menjaga bumi dan bertempat pada lapisan bumi nomor dua.
- Sang Sontong, menjaga semua gunung pulau Jawa.
- Sang Waluhun, menjaga pantai utara dan selatan.
- Sih Walakat, menjaga seluruh hutan dan pepohonan.
- Sangkala Brahmana, menjaga Bumi Cirebon.
- Sangkala Wisesa, menjaga bumi Mataram.
- Janggala Putih, menjaga bumi Bogor.
- Sang Lenggang Lumenggang Gajah, menjaga bumi Jakarta.
- Sang Seda Hening, menjaga bumi Banten.
Perguruan, penatas angin Pekalongan
Perguruan, Agung Waliyullah Ki Bagus Santo Pekalongan.
Perguruan, Pandarang Semarang.
Perguruan, Jambu Karang Purwokerto.
Perguruan, Daon Lumbung Cilacap, dan lain-lain
Kisah Tombak Ratu Kidul
Menyelusuri sejarah secara detail memang sangatlah sulit untuk kita
kaji, disamping perbedaan zaman yang kita alami saat ini jauh tertinggal
dengan zaman mereka, namun secara maknawi, tidak semua sejarah musnah
begitu saja dan tanpa bisa dibuktikan, karena fakta disini akan
mengupasnya. Bercerita tentang tokoh yang satu ini sampai kapanpun terus
menjadi prokontra khalayak rame, suatu mithos dan kenyataan sejarah,
akan terus mewarnai pemahaman orang-orang yang belum paham sejatinya
siapa Ibu Ratu Pantai Selatan, sesungguhnya. Mereka saling membenarkan
pendapatnya masing-masing dengan mengatas namakan keluarga atau silsilah
garis keturunannya.
Walhasil, dalam pemahaman sesungguhnya mereka masih dalam tarap katanya, inilah kisah selengkapnya yang disarikan dalam kitan kuno. Terboekanja Puelo Djawa / terbukanya pulau Jawa, karangan Habib Syeikh Muhammad Idrus, ditulis pada tahun 1845, yang dinukil dari Nabiyullah Hidir AS. Kisah perempuan yang semasa hidupnya ngahyang / raib, bermula dari Istri Nabiyullah Sulaiman AS, yang bernama Ratu Bilqis, setelah suaminya wafat kehadirat Allah SWT. Beliau ngahyang karena cintanya yang begitu besar terhadap suaminya, namun Allah berkehendak lain, beliau akhirnya ditempatkan menjadi ratu laut selatan dibawah perintah Nabiyullah Hidir AS, yang mengepalai seluruh Abdul Jumud, Ahmar, Abyad, Qorin dan Junu, di wilayah Timur Tengah. Juga Nyimas Ayu Nilam, atau Kencana wungu, atau Dewi Sekar Wangi atau Dewi Nawang Wulan, istri Jaka Tarub, yang kini menjadi ratu pantai selatan, bagian Cilacap. Siti Aisah atau Dewi Pembanyun atau Nyimas Rara Ayu, Pokeshi, keturunan Demak, yang ibunya dinikahi oleh Prabu Siliwangi, beliau pada akhirnya ngahyang dan menjadi Ratu Pantai Selatan, bagian Demak Yogyakarta dan Solo.
Dewi Nawang dan Nawang Sari, putri dari Prabu Siliwangi yang menikah dengan Ratu Palaga Inggris, beliau juga ngahyang dan menjadi penguasa pantai selatan, setelah kerajaan ayahandanya raib akibat ditanam Lidi Lanang. Dewi Sekar Sari atau Dewi Andini, salah satu putri Dewi Nawang Wulan, beliau sejak lahir telah menempati salah satu wilayah pantai selatan, yang menguasai Abdul Jumud dan Ahmar, bagian Sukabumi, Garut dan sekitarnya. Dalam hal ini kami tidak membedarkan secara detail tentang sejati diri mereka, namun hanya menceritakan perjalanan 7 tombak yang pernah menjadi bagian dari hidup Dewi Nawang Wulan, putri dari Prabu Siliwangi, yang kini telah diwariskan pada manusia bumi. Secara rinci 7 tombak yang dimaksud dalam kisah kali ini punya nama dan gelar sebagai berikut :
1. Tombak Cakra Langit, bergelar, Tombak Kesyahidan. Motif, lurus dengan kinatah emas murni berbentuk jangkar melingkar, ditengah badan menjulang empat tombak kecil melingkari kepala, dengan kinatah berlian red diamond memutar. Tombak ini diberikan kepada Kanjeng Suanan KaliJaga, untuk melawan kesaktian Prabu Siliwangi, atas perintah Prabu Panatagama Tajuddin Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) dalam penyebaran agama Islam, dan tombak ini sebagai cindra mata perkawinannya Dewi Nawang Wulan, dengan Sunan KaliJaga. Silsilah tombak Cakra Langit, akhirnya turun temurun diwariskan kepada ahlul Khosois, diantaranya, Quthbul Abdal, Syeikh Malaka Tajuddin, Makassar, Quthbul Muqoiyyad, Syeikh Hasyim bin Asy’ari, Aceh, yang diturunkan kepada muridnya Ahmad Suyuti bin Jamal, Kalimantan, Quthbul Autad Min Zumhur Ulama, Ki Tholkha Kalisapu, Mbah Hamid, KiPanjul dan kini berada ditangan Min ahlillah Qurbatul Wilayah Syareatul Khotam, namun sayang tidak boleh dipublikasikan.
2. Tombal Punjul Wilayah, bergelar, tombak Antakusuma. Tombak ini diberikan kepada putrinya Andini, sebagai lambang dari tahta istananya yang dikemudian hari diberikan kepada suaminya Dampu Awuk, gunung Sembung. Lalu diturunkan kepada putrandannya yang bernama, Raden Sa’id atau pangeran LungBenda Jaya Negara. Dari Raden Sa’id, akhirnya berpindah tangan karena dicuri oleh segerombolan aliran hitam yang mengatas namakan perguruan “Kijang Kencana” yang dikepalai oleh murid sakti Pangeran Ambusana, Weleri Jawa Tengah. Baru setelah 20 tahun ditangannya, tombal Punjul akhirnya dimiliki seorang pertapa sakti Buyut Ajigung Ajiguna, setelah adu kesaktian. Kisah tombak ini turun temurun dijaga oleh sebagian bangsa Hindu dan pada akhirnya raib dihutan Banyuwangi Jawa Timur, dan baru setelah seorang Waliyullah kamil, Mbah Hafidz, yang berasal dari Timur Tengah, menduduki wilayah tersebut, akhirnya tombak Punjuk Wilayah, tetap terjaga. Kini tombak Punjul, masih dijaga oleh muridnya yang bernama Ki Panjalu Pati Jawa Tengah. Bentuk tombak Punjul Wilayah. Motif lurus, urat air hujan (Majapahit) warna hitam kebiruan, dengan lima ujung mata tombak mengarah kedepan. Tombak ini sudah dirombak dari bentuk aslinya oleh Mbah Hafidz, sebagai suatu pengelabuan dimasa yang akan datang agar tidak disalah gunakan.
3. Tombak Panatagama, bergelar, Raja Maemun. Pemberian dari Sulthonul Jin Maemun Indramayu. Motif tiga cabang tombak kedepan, urat besi aji meteor legam, hitam bersisik tanpa pamor, dihiasi 7 batu merah delima, 3 zamrud Colombia dan 4 shapire Srilangka serta 11 batu biduri air. Silsilah tombak ini kami hanya kedapatan 4 orang dan lainnya tidak diketahui, yaitu, Syeikh Abdullah Al-Fanani Min Rijalullah, Syeikh Qosim Al-Jawi, Syeikh Mudaim, dan Ki Toha Tegal Gubug.
4. Tombak Cemeti Rosul, bergelar Tombak Alam Jagat Raya. Tombak ini berasal dari Nabiyullah Hidir AS, sewaktu dibaiat Maqomul A’dzom, di alamus Sama tingkat enam, yang kemudian diberikan kepada Dewi Nawang Wulan, sewaktu dibaiat Syahadatiyyah oleh Ahli Rijal bangsa Rububiyyah ahlul Barri. Lewat mandat Dewi Nawang Wulan, bahan tadi dibentuk oleh abdi dalem, Empu Jalaga Widesa, berupa tombak mata satu dengan urat bumi yang sangat indah. Baru disaat kota Cirebon diserang oleh pasukan tamtama Lewmunding, Tombak ini diserahkan kepada Syeikh Magelung Sakti, sebagai benteng pertahanan paling kuat kota Pesisir. Lalu tujuh tahun setelah itu, tombak tadi diserahkan kepada Andika Syeikh Muhyi Pamijahan, atas ilafat Syeikh Sanusi goa gunung Mujarrob, yang menyatakan sudah waktunya berpindah tempat. Dari Syeikh Sanusi, Tombak Cemeti Rosul, akhirnya dirubah bentuk menjadi sebatang keris Budho madya kuno dengan urat alami jagat raya yang selalu menitikkan air disela uratnya, cara perubahan keris ini menurut pandangan Syeikh sanusi, sebagai lambang penyatuan antara Islam dan Kejawen yang diajarkan bangsa Waliyullah, pada masa itu.
Sarung kerisnya dibuat dari kayu Kaukah, dengan dihiasi 21 batu merah delima, 41 zamrud Colombia, 17 shapire Birna, 70 berlian putih, dan 4 pink shapire srilangka. Pada tahun 1961, keris ini diberikan kepada Habib Muhammad bin Khudhori, Magelang, atas hawatif yang diterimanya untuk mengambil secara langsung didalam goa gunung Mujarrob, Tasikmalaya Jawa Barat. Dan pada tahun 1998, sebelum beliau wafat, keris ini diberikan kepada Habib Syeikh Arba’atul ‘Amadu, atas mandat langsung dari Syeikh Sanusi. Kelebihan dari wujud keris ini tidak bisa di foto dengan kamera digital maupun otomatis lainnya. Kini Keris Cemeti Rosul, sedang dipinjam oleh Ahlullah Quthbul Muthlak Habib Ali bin Ja’far Alawi, Arab Saudi.
5. Tombak Karara Reksa, bergelar, Tombak Derajat. Motif bergerigi dengan cabang berantai lebih dari sepuluh. Warna putih gading dengan bentuk tumpul, memancarkan cahaya putih kehitaman. Tombak ini hasil riyadho Dewi Nawang Wulan Sendiri, sewaktu masih menjadi murid Ki Ageng Surya Pangeran Kuncung Anggah Buana (Ki Buyut Trusmi) Bahan yang dimilik tombak ini berasal dari kembang pinang yang sudah membatu. Kisah tombak Karara Reksa, selalu muncul sewaktu-waktu disaat menjelang pemilihan president, dan kini tombak tersebut masih terpelihara dialam istana ghoib laut selatan.
6. Tombak Karara Mulya, bergelar, Tombak Mangku Mulyo. Tombak ini tidak diketahui pembuatnya, hanya saja setelah dipegang Dewi Nawang Wulan, tombak ini dihadiahkan atas perkawinan putrinya yang bernama, Nyimas Anting Retno Wulan, untuk suaminya Pangeran Jaladara, putra Kyai Ageng Bintaro Kejuden. Dari Pangeran Jaladara, diturunkan kepada putranya, Pangeran Seto Bulakamba, dan kemudian diwariskan pada gurunya Ki Alam Jagat Bumi, Banten, lalu turun temurun diberikan kepada Syeikh Asnawi Banten, Syeikh Masduki Lasem, Syeikh Samber Nyawa Purwodadi, Mbah Hafidz Banyuwangi dan yang terakhir kepada Habib Husein bin Umar bin Yahya Pekalongan. Asli dari bentuk tombak Karara Mulya, disetiap ujung sampai pangkal bawah berjeruji sangat tajam seperti mata kail pancing, namun demi menjaga kelestarian dari keberadaan tombak fenomenal ini akhirnyaHabib Husein, merombaknya seperti yang anda lihat saat ini.
7. Tombak Tulungagung, bergelar Tombak Sapta Jati. Tombak ini diwariskan secara langsung dari tangan Dewi Nawang Wulan, sebagai tanda terima kasihnya, atas keluhuran derajat Habib Husein, yang mau menyelamatkan bumi Pekalongan, dari amukan tsunami hingga tidak sampai terjadi. Kisah ini terjadi pada tahun 1998, bulan Pebruari, tepatnya selasa kliwon. Kini tombak tersebut dirubah sedikit dari bentuk semula yang aslinya seperti segi tiga menjadi tombak lurus dengan pahatan panel bunga. Dan sebagai pengantar terakhir dari kami. Kisah ini sudah dapat restu dari beberapa orang terkait kecuali Habib Husein bin Umar, karena beliau kini sudah (Alm).
Semoga dengan pembedaran kisah 7 tombak fenomenal yang barusan kami bedarkan, menjadikan kita sadar diri dengan apa yang selama ini banyak kita dengar. Karena apapun benda bertuah kelas wahid, tidak bakal jatuh pada manusia yang masih memegang, katanya, dan aku-aku sebagai pedoman hidup. Sebab pemahaman tentaang keluasan bangsa gaib bersumber dari pembelajaran Ilmu Islam, Iman, Solah, Ihsan, Syahadatul Kubro, Siddikiyyah dan Qurbah, secara dhaukiyyah (Merasakan langsung)
Walhasil, dalam pemahaman sesungguhnya mereka masih dalam tarap katanya, inilah kisah selengkapnya yang disarikan dalam kitan kuno. Terboekanja Puelo Djawa / terbukanya pulau Jawa, karangan Habib Syeikh Muhammad Idrus, ditulis pada tahun 1845, yang dinukil dari Nabiyullah Hidir AS. Kisah perempuan yang semasa hidupnya ngahyang / raib, bermula dari Istri Nabiyullah Sulaiman AS, yang bernama Ratu Bilqis, setelah suaminya wafat kehadirat Allah SWT. Beliau ngahyang karena cintanya yang begitu besar terhadap suaminya, namun Allah berkehendak lain, beliau akhirnya ditempatkan menjadi ratu laut selatan dibawah perintah Nabiyullah Hidir AS, yang mengepalai seluruh Abdul Jumud, Ahmar, Abyad, Qorin dan Junu, di wilayah Timur Tengah. Juga Nyimas Ayu Nilam, atau Kencana wungu, atau Dewi Sekar Wangi atau Dewi Nawang Wulan, istri Jaka Tarub, yang kini menjadi ratu pantai selatan, bagian Cilacap. Siti Aisah atau Dewi Pembanyun atau Nyimas Rara Ayu, Pokeshi, keturunan Demak, yang ibunya dinikahi oleh Prabu Siliwangi, beliau pada akhirnya ngahyang dan menjadi Ratu Pantai Selatan, bagian Demak Yogyakarta dan Solo.
Dewi Nawang dan Nawang Sari, putri dari Prabu Siliwangi yang menikah dengan Ratu Palaga Inggris, beliau juga ngahyang dan menjadi penguasa pantai selatan, setelah kerajaan ayahandanya raib akibat ditanam Lidi Lanang. Dewi Sekar Sari atau Dewi Andini, salah satu putri Dewi Nawang Wulan, beliau sejak lahir telah menempati salah satu wilayah pantai selatan, yang menguasai Abdul Jumud dan Ahmar, bagian Sukabumi, Garut dan sekitarnya. Dalam hal ini kami tidak membedarkan secara detail tentang sejati diri mereka, namun hanya menceritakan perjalanan 7 tombak yang pernah menjadi bagian dari hidup Dewi Nawang Wulan, putri dari Prabu Siliwangi, yang kini telah diwariskan pada manusia bumi. Secara rinci 7 tombak yang dimaksud dalam kisah kali ini punya nama dan gelar sebagai berikut :
1. Tombak Cakra Langit, bergelar, Tombak Kesyahidan. Motif, lurus dengan kinatah emas murni berbentuk jangkar melingkar, ditengah badan menjulang empat tombak kecil melingkari kepala, dengan kinatah berlian red diamond memutar. Tombak ini diberikan kepada Kanjeng Suanan KaliJaga, untuk melawan kesaktian Prabu Siliwangi, atas perintah Prabu Panatagama Tajuddin Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) dalam penyebaran agama Islam, dan tombak ini sebagai cindra mata perkawinannya Dewi Nawang Wulan, dengan Sunan KaliJaga. Silsilah tombak Cakra Langit, akhirnya turun temurun diwariskan kepada ahlul Khosois, diantaranya, Quthbul Abdal, Syeikh Malaka Tajuddin, Makassar, Quthbul Muqoiyyad, Syeikh Hasyim bin Asy’ari, Aceh, yang diturunkan kepada muridnya Ahmad Suyuti bin Jamal, Kalimantan, Quthbul Autad Min Zumhur Ulama, Ki Tholkha Kalisapu, Mbah Hamid, KiPanjul dan kini berada ditangan Min ahlillah Qurbatul Wilayah Syareatul Khotam, namun sayang tidak boleh dipublikasikan.
2. Tombal Punjul Wilayah, bergelar, tombak Antakusuma. Tombak ini diberikan kepada putrinya Andini, sebagai lambang dari tahta istananya yang dikemudian hari diberikan kepada suaminya Dampu Awuk, gunung Sembung. Lalu diturunkan kepada putrandannya yang bernama, Raden Sa’id atau pangeran LungBenda Jaya Negara. Dari Raden Sa’id, akhirnya berpindah tangan karena dicuri oleh segerombolan aliran hitam yang mengatas namakan perguruan “Kijang Kencana” yang dikepalai oleh murid sakti Pangeran Ambusana, Weleri Jawa Tengah. Baru setelah 20 tahun ditangannya, tombal Punjul akhirnya dimiliki seorang pertapa sakti Buyut Ajigung Ajiguna, setelah adu kesaktian. Kisah tombak ini turun temurun dijaga oleh sebagian bangsa Hindu dan pada akhirnya raib dihutan Banyuwangi Jawa Timur, dan baru setelah seorang Waliyullah kamil, Mbah Hafidz, yang berasal dari Timur Tengah, menduduki wilayah tersebut, akhirnya tombak Punjuk Wilayah, tetap terjaga. Kini tombak Punjul, masih dijaga oleh muridnya yang bernama Ki Panjalu Pati Jawa Tengah. Bentuk tombak Punjul Wilayah. Motif lurus, urat air hujan (Majapahit) warna hitam kebiruan, dengan lima ujung mata tombak mengarah kedepan. Tombak ini sudah dirombak dari bentuk aslinya oleh Mbah Hafidz, sebagai suatu pengelabuan dimasa yang akan datang agar tidak disalah gunakan.
3. Tombak Panatagama, bergelar, Raja Maemun. Pemberian dari Sulthonul Jin Maemun Indramayu. Motif tiga cabang tombak kedepan, urat besi aji meteor legam, hitam bersisik tanpa pamor, dihiasi 7 batu merah delima, 3 zamrud Colombia dan 4 shapire Srilangka serta 11 batu biduri air. Silsilah tombak ini kami hanya kedapatan 4 orang dan lainnya tidak diketahui, yaitu, Syeikh Abdullah Al-Fanani Min Rijalullah, Syeikh Qosim Al-Jawi, Syeikh Mudaim, dan Ki Toha Tegal Gubug.
4. Tombak Cemeti Rosul, bergelar Tombak Alam Jagat Raya. Tombak ini berasal dari Nabiyullah Hidir AS, sewaktu dibaiat Maqomul A’dzom, di alamus Sama tingkat enam, yang kemudian diberikan kepada Dewi Nawang Wulan, sewaktu dibaiat Syahadatiyyah oleh Ahli Rijal bangsa Rububiyyah ahlul Barri. Lewat mandat Dewi Nawang Wulan, bahan tadi dibentuk oleh abdi dalem, Empu Jalaga Widesa, berupa tombak mata satu dengan urat bumi yang sangat indah. Baru disaat kota Cirebon diserang oleh pasukan tamtama Lewmunding, Tombak ini diserahkan kepada Syeikh Magelung Sakti, sebagai benteng pertahanan paling kuat kota Pesisir. Lalu tujuh tahun setelah itu, tombak tadi diserahkan kepada Andika Syeikh Muhyi Pamijahan, atas ilafat Syeikh Sanusi goa gunung Mujarrob, yang menyatakan sudah waktunya berpindah tempat. Dari Syeikh Sanusi, Tombak Cemeti Rosul, akhirnya dirubah bentuk menjadi sebatang keris Budho madya kuno dengan urat alami jagat raya yang selalu menitikkan air disela uratnya, cara perubahan keris ini menurut pandangan Syeikh sanusi, sebagai lambang penyatuan antara Islam dan Kejawen yang diajarkan bangsa Waliyullah, pada masa itu.
Sarung kerisnya dibuat dari kayu Kaukah, dengan dihiasi 21 batu merah delima, 41 zamrud Colombia, 17 shapire Birna, 70 berlian putih, dan 4 pink shapire srilangka. Pada tahun 1961, keris ini diberikan kepada Habib Muhammad bin Khudhori, Magelang, atas hawatif yang diterimanya untuk mengambil secara langsung didalam goa gunung Mujarrob, Tasikmalaya Jawa Barat. Dan pada tahun 1998, sebelum beliau wafat, keris ini diberikan kepada Habib Syeikh Arba’atul ‘Amadu, atas mandat langsung dari Syeikh Sanusi. Kelebihan dari wujud keris ini tidak bisa di foto dengan kamera digital maupun otomatis lainnya. Kini Keris Cemeti Rosul, sedang dipinjam oleh Ahlullah Quthbul Muthlak Habib Ali bin Ja’far Alawi, Arab Saudi.
5. Tombak Karara Reksa, bergelar, Tombak Derajat. Motif bergerigi dengan cabang berantai lebih dari sepuluh. Warna putih gading dengan bentuk tumpul, memancarkan cahaya putih kehitaman. Tombak ini hasil riyadho Dewi Nawang Wulan Sendiri, sewaktu masih menjadi murid Ki Ageng Surya Pangeran Kuncung Anggah Buana (Ki Buyut Trusmi) Bahan yang dimilik tombak ini berasal dari kembang pinang yang sudah membatu. Kisah tombak Karara Reksa, selalu muncul sewaktu-waktu disaat menjelang pemilihan president, dan kini tombak tersebut masih terpelihara dialam istana ghoib laut selatan.
6. Tombak Karara Mulya, bergelar, Tombak Mangku Mulyo. Tombak ini tidak diketahui pembuatnya, hanya saja setelah dipegang Dewi Nawang Wulan, tombak ini dihadiahkan atas perkawinan putrinya yang bernama, Nyimas Anting Retno Wulan, untuk suaminya Pangeran Jaladara, putra Kyai Ageng Bintaro Kejuden. Dari Pangeran Jaladara, diturunkan kepada putranya, Pangeran Seto Bulakamba, dan kemudian diwariskan pada gurunya Ki Alam Jagat Bumi, Banten, lalu turun temurun diberikan kepada Syeikh Asnawi Banten, Syeikh Masduki Lasem, Syeikh Samber Nyawa Purwodadi, Mbah Hafidz Banyuwangi dan yang terakhir kepada Habib Husein bin Umar bin Yahya Pekalongan. Asli dari bentuk tombak Karara Mulya, disetiap ujung sampai pangkal bawah berjeruji sangat tajam seperti mata kail pancing, namun demi menjaga kelestarian dari keberadaan tombak fenomenal ini akhirnyaHabib Husein, merombaknya seperti yang anda lihat saat ini.
7. Tombak Tulungagung, bergelar Tombak Sapta Jati. Tombak ini diwariskan secara langsung dari tangan Dewi Nawang Wulan, sebagai tanda terima kasihnya, atas keluhuran derajat Habib Husein, yang mau menyelamatkan bumi Pekalongan, dari amukan tsunami hingga tidak sampai terjadi. Kisah ini terjadi pada tahun 1998, bulan Pebruari, tepatnya selasa kliwon. Kini tombak tersebut dirubah sedikit dari bentuk semula yang aslinya seperti segi tiga menjadi tombak lurus dengan pahatan panel bunga. Dan sebagai pengantar terakhir dari kami. Kisah ini sudah dapat restu dari beberapa orang terkait kecuali Habib Husein bin Umar, karena beliau kini sudah (Alm).
Semoga dengan pembedaran kisah 7 tombak fenomenal yang barusan kami bedarkan, menjadikan kita sadar diri dengan apa yang selama ini banyak kita dengar. Karena apapun benda bertuah kelas wahid, tidak bakal jatuh pada manusia yang masih memegang, katanya, dan aku-aku sebagai pedoman hidup. Sebab pemahaman tentaang keluasan bangsa gaib bersumber dari pembelajaran Ilmu Islam, Iman, Solah, Ihsan, Syahadatul Kubro, Siddikiyyah dan Qurbah, secara dhaukiyyah (Merasakan langsung)
Riwayat terbunuhnya Arya Panangsang
Dalam kisah perseteruan antara dua murid Waliyulloh agung, Arya Panangsang VS Jaka Tingkir, bukan karena motif dendam maupun lainnya, namun perseteruan disini terjadi karena suatu perbedaan pandangan dalam kemaslahatan ilmu Ma’rifatillah. Inilah simakannya …
Berubahnya sifat Arya Panangsang, bermula dari kematian gurunya Panglima Pasopati agung Sunan Kudus, dan sejak itu pula sifatnya sangat keras, angkuh dan merasa paling sakti di dunia. Hal semacam ini baginya tidak ada lagi Wali yang bisa membimbingnya kecuali (Alm) gurunya.
Kisah perubahan sifat Arya Panangsang, membuat seluruh murid Wali lainnya merasa tercengang. Ya…..siapa yang tidak kenal dengan nama Arya Panangsang, seorang panglima perang paling tangguh dengan segala kesaktian yang pernah ada, beliau juga seorang yang sangat arif dan bijaksana dalam segala hal, namun dengan perubahannya saat ini membuat hati para murid lainnya sangat terpukul.
Betapa tidak, Arya Panangsang selalu mengumbar emosinya dengan menantang semua jawara hingga sering membuat keonaran dimana-mana.
Puluhan bahkan ratusan jawara yang merasa tersinggung atas kesombongannya harus berakhir dengan kematian.
Dalam keadaan yang tidak menentu, salah satu murid Sunan KaliJaga, yang bernama Jaka Tingkir, menghadap gurunya untuk minta ijin guna melawan kesombongan Arya Panangsang.
“Wahai Joko Tingkir, jangan kau sia-siakan hidupmu hanya karena Arya Panangsang, sesungguhnya orang yang akan kau hadapi adalah hamba yang kini sedang zadabiyyah (Hanya ingat kepada Allah) apabila sampai kau menang maka Allah murka kepadamu dan kalau kau kalah, maka dirimu akan dilaknat oleh-Nya, karena melawan orang yang sedang jatuh cinta pada tuhan-Nya, diamlah hingga suatu hari kelak Allah mengijinkanmu”
Dengan patuh Jaka Tingkir, langsung mengundurkan diri dari hadapan gurunya dan langsung bertaubat kepada Allah, atas praduga yang kurang baik terhadap diri Arya Panangsang.
Juga Sunan KaliJaga, setelah kepergian muridnya beliau langsung meminta petunjuk kepada Allah, atas tingkah laku Arya Panangsang, yang dianggap sudah melampui batas Syar’i dan akidah .
Dalam keadaan khusu’ tiba-tiba Sunan Kudus, muncul dihadapannya: “Assalamu alaikum ya Autadulloh” yang langsung dibalas oleh Sunan KaliJaga: “Waalaikum salam ya ahlul Jannah”
“Angger KaliJogo, doamu sampai menggetarkan tiang surga dan alamul Arsy, aku memahami apa yang menjadi beban dihatimu, namun ketahuilah,,,, Allah telah menggariskan lain di Lauhul-Mahfud, bahwa Arya Panangsang, akan menjadi hamba solehnya dialamul Jannah karena mati ditangan muridmu, sesama Waliyulloh. Datangilah istrinya dan bujuk dia agar suaminya mau mendengarkan apa yang kau inginkan”
Setelah itu Sunan KaliJaga, langsung pergi meninggalkan kediamannya menuju istri Arya Panangsang yang bernama Retno Kencono Wungu, putri dari Dewi Lanjar, Penguasa Laut Utara.
Sesampainya ditempat tujuan, ternyata Arya Panangsang, langsung menunggunya: “Wahai Quthbul Autad, aku tahu kau baru saja bertemu dengan guruku dan menyarankan agar istriku bisa menasehatiku, namun ketahuilah!!! aku tidak bisa dinasehati olehmu kecuali dengan kematian”
Dengan sambutan yang kurang mengenakkan hati ini akhirnya Sunan KaliJaga, langsung undur pamit. Selanjutnya beliau tidak langsung pulang melainkan bersilaturrohmi kerumah istrinya Jaka Tingkir, yang bernama Dewi Nawang Wulan Sari, putri dari ibu agung Nawang Wulan, Penguasa Pantai Selatan.
Tahu yang datang gurunya, suami istri ini sangat bersuka cita dan cepat-cepat menjamunya penuh penghormatan. Sang Sunan pun langsung menceritakan perjalanannya sejak bertemu dengan Sunan Kudus hingga sampai datang kerumah Arya panangsang.
Tentu sebagai seorang murid, Jaka Tingkir sangat geram melihat gurunya dihina oleh Arya Panangsang, dan beliau minta ijin untuk membuat perhitungan dengannya. Kali ini Sunan KaliJaga, hanya bisa diam tanpa komentar, namun sewaktu Jaka Tingkir, akan keluar rumah Sunan KaliJaga, langsung menghadangnya.
“Jaka Tingkir, walau Allah telah menggariskan bahwa Arya Panangsang, harus mati ditanganmu, namun bukan berarti tanpa wasilah, saat ini kau akan kalah melawannya sampai Allah, menuntunmu pada waktu yang tepat”
Mungkin karena emosi yang begitu meluap membuat Jaka Tingkir, tidak memperdulikan ucapan gurunya dan terus berlari mencari Arya Panangsang.
Ditengah perjalanan Arya Panangsang, sudah siap menghadang dengan tombak ki Gede Plered “Wahai Joko Tingkir, kini saatnya kau harus membunuhku” dan tanpa banyak kata Joko Tingkir, langsung menyerang dengan beragam ilmu kesaktiannya untuk mematahkan tombak sakti kepunyaan ki gede Plered.
Namun walau sudah sekian ratus jurus yang dikeluarkan Jaka Tingkir, tetap saja Arya Panangsang, bisa menangkis semua serangannya. semua ini menunjukkan bahwa Arya Panangsang, yang bergelar Pangeran Bumi Sanjaya, mantan dari panglima perang Kudus, lebih diatas Jaka Tingkir, dalam masalah ilmu kesaktian.
Dengan keadaan yang cukup memalukan, membuat Jaka Tingkir, harus hengkang dari arena pertempuran dan terus berlari penuh kekecewaan. Sesampainya dirumah, Sunan KaliJaga beserta istrinya menyambut kedatangannya penuh haru.
“Joko Tingkir anakku, bawalah istrimu menuju dasar laut selatan, temuilah mertuamu dan katakan aku yang menyuruh, mintalah tombak Cakra Langit dan bawalah kemari, sesungguhnya mencari wasilah bagian dari kewajiban setiap manusia” terang Sunan KaliJaga.
Tanpa menyia-nyiakan waktu keduanya langsung pamit menuju istana bawah Laut Selatan.
Sesampainya disana, kedua suami istri ini langsung disambut oleh seluruh penghuni istana dengan riang gembira, lalu keduanya langsung menuju kaputren agung yang bernama “Tirta Kencana” salah satu kamar Ratu penguasa Pantai Selatan.
Setelah sembah sungkem terhadap Ratu agung, keduanya langsung menceritakan perjalanannya hingga sampai datang ke istana dasar laut.
“Angger Joko Tingkir anakku, Ibu sudah mengetahui tentang sepak terjang Arya Panangsang, namun tadi juga Jeng Nabi Hidir, datang kemari membawa satu pesan,,,bahwa sementara waktu jangan melawannya, karena seluruh badan Arya Panangsang, saat ini sedang diliputi asma’ Ilahiyyah.(Zadab) Kalau Angger tetap melawannya takut Angger disalahkan dikemudian hari oleh yang Maha Kuasa”
“Bersabarlah, suatu hari nanti sang Maha Pencipta akan mengabulkannya, sebab benar tidaknya kita tergantung waktu dan tempat, dimana kita salah langkah, tujuan apapun akan berdampak kurang baik, dan sampaikan kepada kangmas KaliJaga, rawatlah dulu tombak Cakra Langit, sampai pada waktunya tiba”
Sesudah undur diri mereka berdua keluar dari dasar Laut Selatan dan langsung menuju kediaman gurunya, Sunan KaliJaga. Lalu kedua suami istri ini langsung menyerahkan tombak Cakra Langit, sembari menceritakan apa yang sudah diamanatkan oleh ibu mertuanya.
Sejak tombak Cakra Langit berada ditangan Sunan KaliJaga, Joko Tingkir, disuruhnya bertapa di sungai tapak tilasnya dulu (Sebelum Sunan KaliJaga, dinobatkan menjadi salah satu WaliSongo) Dan kisah bertapanya Jaka Tingkir ini memakan waktu 210 hari atau 7 bulan lamanya.
Disisi lain sejak raibnya Jaka Tingkir, Arya Panangsang, selalu mengumbar mulutnya dan terus menantang Jaka Tingkir.
Lain Arya Panangsang, lain pula Jaka Tingkir, tepatnya 7 bulan bertapa, 101 Waliyulloh, datang menjenguknya diantaranya, (Alm) Sunan Ampel, (Alm) Sunan Giri, dan 99 Wali lainnya, mereka datang menasehati Jaka Tingkir, agar mau bersabar dalam menerima segala cobaan yang ada, khususnya dalam menghadapi kefanaan sifat Arya Panangsang, yang kini sedang Mazdub kepada Allah.
Dalam kekhidmatannya dihadapan para sesepuh Waliyulloh, Jaka Tingkir, juga minta dinasehati agar bisa menerima rasa sabar tatkala sampai bertemu dengan sedulur tua Arya Panangsang, lalu semua Waliyulloh yang ada berujar “Walladzina amanu wattaba’athum dzurriyatahum bi imanin al haqnabihim dzurriyatahum wama alatnahum min amalihim min syai-in kullumri-in bima kasaba rohinun” (Atthur-21)
yang kurang lebih artinya: “Dan orang-orang beriman sedang keturunannya mengikutinya dalam keimanan, niscaya kami pertemukan mereka dengan keturunannya di surga. Dan kami tiada mengurangi sedikitpun dari amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya”
Dengan hadirnya semua Waliyulloh, maka Jaka Tingkir, menyudahi semedinya dan langsung pulang menuju kediaman gurunya.
Dari sinilah Sunan KaliJaga, menyerahkan tombak Cakra Langit: “Sudah waktunya tombak ini kuserahkan kepadamu Angger Joko Tingkir”
Dilain waktu, tatkala Jaka Tingkir, sedang bersama istrinya, tiba-tiba santri Sunan KaliJaga, datang tergopoh-gopoh mengabarkan bahwa perguruan gurunya diobrak abrik oleh Arya Panangsang, dan saat Jaka Tingkir, menanyakan keadaan gurunya, sang santripun menjawab: “Sejak 2 minggu lalu Dimas menyambangi guru, kanjeng KaliJaga, langsung pergi entah kemana dan sekarang beliau belum pulang” terang sang santri.
Lalu Jaka Tingkirpun langsung cabut diri menuju padepokan gurunya dan setelah sampai disana Jaka Tingkir tidak bisa menahan emosinya melihat apa yang terjadi. Ya, padepokan yang selama ini membesarkannya kini tinggal puing belaka.
Beliaupun langsung mengejar Arya Panangsang dirumahnya dan dengan suara lantang Jaka Tingkir, menantangnya, entah kelelahan atau lainnya, kala itu Arya Panangsang sedang tidur terlelap dan setelah mendengar suara Jaka Tingkir, beliaupun secepat kilat keluar dengan membawa tombak Tulungagung.
Perkelahianpun tidak bisa dihindarkan lagi, kedua murid Waliyulloh ini saling serang satu sama lainnya, mereka tiada hentinya mengeluarkan jurus andalannya masing-masing. Dan diwaktu bersamaan Jaka Tingkir, lebih dulu menghujamkan tombak Cakra Langitnya kejantung Arya Panangsang, hingga beliau roboh bersimbah darah.
Setelah Arya Panangsang tewas ditangan Jaka Tingkir, tombak Tulungagung akhirnya diserahkan kepada mertuannya Dewi Nawang Wulan.
Namun yang menjadi tanda Tanya, mengapa Arya Panangsang bisa dikalahkan dengan mudah oleh Jaka Tingkir? Inilah jawaban aslinya.
Sewaktu tombak ki Gede Plered, diserahkan kepadaku, Nyimas Retno Kencana Wungu, berujar: “Bahwa kekalahan suamiku Arya Panangsang, tak lain karena beliau dalam keadaan tidak suci (baru melakukan hubungan badan dan belum mandi besar)”
Kisah Kewalian Syekh Magelung Sakti
Arifin Syam adalah putra dari kepala bagian pembesar istana dibawah
kekuasaan Raja Hut Mesir, beliau sejak bayi telah ditinggalkan oleh ayah
bundanya kehadirat Allah SWT, dan akhirnya dibesarkan oleh seorang
muslim yang taat, disalah satu kota terpencil bagian negara Syam.
Nama
Arifin Syam sendiri diambil dari kota dimana beliau dibesarkan kala itu
yaitu Negara Syam. Dalam keumuman manusia seusianya, Arifin Syam
dikenal sangat pendiam namun pintar dalam segi bahasa bahkan saking
pintarnya beliau sudah terkenal sejak usia 7 tahun dengan panggilan
sufistik kecil dikalangan guru dan pendidik lainnya. Karena pintar
inilah beliau banyak diperebutkan kalangan guru besar diseluruh negara
bagian Timur Tengah, dan sejak usia 11 tahun beliau telah menempatkan
posisinya sebagai pengajar termuda diberbagai tempat ternama sepeti :
Madinah, Mekkah, Istana Raja Mesir, Masjidil Aqso Palestina dan berbagai
tempat ternama lainnya.
Namun dalam kepribadiannya, beliau
banyak dihujat oleh ulama fukkoha, dikarenakan rambutnya yang semakin
hari semakin memanjang tidak terurus, sehingga dalam pandangan para
ahlul fikokkha, Srifin Syam terkesan bukan sebagai seorang pelajar
religius yang mengedepankan makna tatakrama seorang sufistik agung.
Hal
semacam ini bukan karena Arifin Syam tidak mau mencukur rambutnya yang
lambat laun jatuh ke tanah, namun beliau sediri sudah ratusan kali
beriktiar kebelahan dunia untuk mencari orang sakti yang benar-benar
mampu memotonga rambutnya, pasalnya sejak dilahirkan ke alam dunia,
rambut Arifin Syam sudah tidak bisa dipotong oleh sejenis benda tajam
maupun alat lainnya dan kisah ini berlanjut hingga beliau berusia 40
tahun.
di usia 30 tahun beliau diambil oleh Istana Mesir dan
menjadi panglima perang dalam mengalahkan pasukan Romawi dan Tartar, dan
dari sinilah nama beliau mulai mashur dikalangan masyarakat luas
sebagai panglima perang tersakti diantara panglima perang sebelumnya.
sebab keumuman seorang panglima kala itu bisa dilihat dari strategi
perangnya dan juga kelihaiannya dalam memainkan pedang, panah maupun
tombak dikancah peperangan, namun lain dengan Arifin Syam, yang kini
sudah bergelar dengan nama Panglima Mohammad Syam Magelung Sakti, beliau
acap kali tidak membawa pedang maupun tombak dalam memimpin pasukannya,
namun beliau selalu menebaskan rambutnya yang seperti kawat baja
disetiap menghadapi ribuan pasukan musuh sehingga dengan kesaktian
rambutnya pula membuat pasukan musuh pontang panting.
Kisah
kesaktian rambutnya mulai mashur di usia 32 tahun dan pada usia 34 tahun
beliau bertemu secara yakodho / lahir dengan Nabiyullah Hidir AS yang
mengharuskan beliau mencari guru mursyid sebagai pembimbingnya menuju
maqom kewalian kamil. Kisah pertemuan dengan Nabiyullah Hidir AS
membuat beliau meninggalkan istana Raja Mesir yang kala itu sangat
membutuhkan tenaganya, bahkan bukan hanyaitu beliau pun kerap dinantikan
oleh seluruh muridnya dalam pengena (Waliyullah).
Dengan
perbekalan makanan dan ratusan kitab yang dibawanya, Mohammad Syam
Magelung Sakti mulai mengarungi belahan dunia dengan membawa perahu
jukung (Perahu getek) seorang diri, beliau mulai mendatangi beberapa
ulama terkenal dan singgah untuk mengangkatnya menjadikan muridnya,
diantara yang disinggahi beliau antara lain : Syeikh Dzatul Ulum
Libanon, Syeikh Attijani Yaman bagian Selatan, Syeikh Qowi bin Subhan
bin Arsy Bairut, Syeikh Assamargondi bin Zubair bin Hasan India, Syeikh
Muawwiyah As-salam Malaka, Syeikh Mahmud Yerussalem, Syeikh Zakariyya
bin Salam bin Zaab Tunisia, Syeikh Marwan bin Sofyan Siddrul Muta’allim
Campa, dan masih banyak yang lainnya. Namun walau begitu banyaknya para
Waliyullah yang beliau datangi, tidak satu pun dari mereka yang
menerimanya, mereka malah berbalik berkata "Sesungguhnya akulah yang
meminta agar menjadi muridmu wahai sang Waliyullah"
Dengan
kekecewaan yang mendalam, Moh. Syam Magelung Sakti mulai meninggalkan
mereka untuk terus mencari Mursyid yang diinginkannya hingga pada suatu
hari beliau bertemu dengan seorang pertapa sakti bangsa Sanghiyang
bernama Resi Purba Sanghiyang Dursasana Prabu Kala Sengkala di
perbatasan sungai selat malaka.
" Datanglah wahai kisanak di
pulau Jawa, sesungguhnya disana telah hadir seorang pembawa kebajikan
bagi seluruh Wliyullah, benamkan hati dan pikiranmu ditelapak kakinya,
sesungguhnya beliau mengungguli dari semua Waliyullah yang ada" Dengan
perkataan sang Resi barusan, Moh. Syam sangat senang mendengarnya dan
setelah pamit beliaupun langsung meneruskan perjalanannya menuju pulau
Jawa.
Mungkin pembaca sekalian merasa bingung dengan perkataan
Resi tadi yang menanyatakan "Benamkan hati dan pikiranmu ditelapak
kakinya" seolah perkataan ini terlalu riskan di ucapkan pada seorang
yang mempunyai derajat Waliyullah. Sebelum pen-meneruskan cerita
selanjutnya, ada baiknya Misteri jelaskan terlebih dahulu kata bahasa
tadi agar tidak salah tafsir nantinya…
Dalam pemahaman ilmu
tauhid, bahwasannya tingkat ke Walian di bagi menjadi beberapa bagian
dan tingkat tertinggi disini adalah Maqom Quthbul Mutlak, yang di
teruskan dengan Maqom Atmaniyyah, Arba’atul ‘Amadu, Muqoyyad, Autad,
Nuqiba, Nujaba ‘ Abdal, Nasrulloh, Rijalulloh dan lain sebagainya.
Diantara
Wali yang ada, semua Waliyullah derajatnya dibawah telapak Quthbul
Muthlak sendiri derajatnya sebagai penerus Rosululloh, yaitu dibawah
ketiak atau pundaknya Nabiyulloh Muhammah SAW (Maqom Qurbah). Jadi walau
Moh. Syam Magelung Sakti pada waktu itu derajatnya sudah mencapai
Waliyullah Kamil, namun dalam hal Maqom, beliau belum ada apa-apanya
dengan Maqom Quthbul Mauthlak yang barusan Misteri bedarkan tadi. Kami
lanjutkan ke cerita semula…
Setelah Moh. Syam sampai dilaut pulau
Jawa, beliau akhirnya singgah disalah satu pedesaan sambil tiada
hentinya bertafakkur memohon kepada Allah SWT, untuk cepat ditemukan
dengan Mursyid yang diinginkannya, tepatnya pada malam jum’at kliwon
ditengah heningnya malam yang sunyi tiba-tiba beliau dikejutkan oleh
suara uluk salam dari seseorang " Assalamu’alaikum Ya Akhi min Ahli
Wilyah" lalu beliau pun dengan gugup menjawabnya " Wa’alaikum salam Ya
Nabiyulloh Hidir AS yang telah membawaku ke pintu Rohmatallil’alamiin.
Lima
tahun sudah Ananda mencari riddhoku dan kini ananda telah mencapainya,
datanglah ke kota Cirebon dan temuilah Syarif Hidayatulloh, sesungguhnya
dialah yang mempunyai derajat raja sebagai Maqom Quthbul Mutkhlak,
terang Nabiyulloh Hidir AS, sambil menghilang dari pandangannya. Dengan
semangat yang menggebu beliau langsung mengayuh jukungnya menuju kota
Cirebon yang dimaksud, sedangkan ditempat lain Syarif Hidayatulloh /
Sunan Gunung Jati yang sudah mengetahui kedatangan Moh. Syam Magelung
Sakti lewat Maqomnya saat itu beliau langsung mengutus uwaknya sekaligus
mertuanya Mbah Kuwu Cakra Buana untuk menjemputnya di pelabuhan laut
Cirebon.
Sesampainya ditempat dimana Sunan Gunung Jati
memerintahkannya. Mbah Kuwu tidak langsung menghadapkannya kepada
Kanjeng Sunan, melainkan mengujinya terlebih dahulu, hal semacam ini
bagi pemahaman ilmu tauhid disebut "Tahkikul ‘Ubudiyyah Fissifatir
Robbaniah / meyakinkan seorang Waliyulloh pada tingkat ke Walian
diantara hak dan Nur Robbani yang dipegangnya.
Setelah Moh. Syam
sudah berada dihadapan Mbah Kuwu Cakra Buana, beliau langsung uluk salam
menyapanya " wahai kisanak, taukah anda dimana saya harus bertemu
dengan Sunan Gunung Jati? namun yang ditanya malah mengindahkan
pertanyaannya dan balik bertanya.. " sudahkah kisanak sholat dhuhur,
setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh? terang Mbah Kuwu. ditanya
seperti itu Moh. Syam langsung mengangguk mengiyakan bahwa memang
dirinya belum melaksanakan sholat dhuhur, lalu Mbah Kuwu mengambil satu
bumbung kecil yang terbuat dari bambu "Masuklah dan sholat berjamaah
denganku" Sambil terheran-heran Moh. Syam mengikuti langkah manusia aneh
dihadapannya yang tak lain adalah Mabh Kuwu Cakra Buana, masuk kedalam
bumbung bambu yang ternyata dalamnya sangat luas dan bertengger Musholla
besar yang sangat anggun, setelah usai sholat Mbah Kuwu mengajaknya
menuju kota Cirebon, namun sebelum sampai ketempat tujuan atas hawatif
yang diterimanya dari sunan Gunung Jati, Mbah Kuwu memotong rambutnya
dan langsung menghilang dari hadapan Moh. Syam Magelung Sakti. Tahu
rambutnya telah terpotong beliau langsung berkeyakinan bahwa tiada lain
manusia tadi (Mbah Kuwu) adalah Sunan Gunung Jati yang dimaksud. lalu
beliaupun memanggilnya tiada henti hingga keseluruhan pelosok desa.
Kisah
terpotongnya rambut Moh. Syam yang kini terkenal dengan sebutan Syeikh
Magelung Sakti kini masih dilestarikan dan menjadi nama desa hingga kini
yaitu di Desa Karang Getas sebelah selatan kantor wali kota Cirebon dan
tahukah anda berapa meter rambut Syeikh Magelung Sakti, sesungguhnya?
yaitu 340 m, atau sepanjang jalan Karang Getas, antara perbatasan desa
Pagongan hingga lampu merah pasar Kanoman. Panjangnya rambut syeikh
Magelung Sakti ini sudah dapat restu dari beberapa ulama khosois seperti
Syeikh Auliya Nur Ali, Syeikh Kamil Ahmad Trusmi, Syeikh Ahmad Sindang
Laut, Syeikh Asnawi bin Subki Gedongan.
Misteri lanjutkan
kembali, dengan rasa bersemangat Moh. Syam terus mencari keberadaan
Sunan Gunung Jati yang dianggapnya barusan memotong rambutnya, beliau
terus berlari sambil memanggil nama Sunan Gunung Jati terus-menerus,
pada suatu tempat tanpa disadari olehnya, beliau masuk dalam kerumunan
orang banyak yang tak lain sedang dibuka perlombaan memperebutkan putri
cantik dan sakti, Nyimas Gandasari Panguragan. Merasa dirinya masuk
gelanggang arena, Wanita cantik yang tak lain adalah Nyimas Gandasari
langsung menyerangnnya… Merasa dirinya diserang secara mendadak, Moh.
Syam langsung mengelak dan menjauhinya, namun bagaimana dengan Nyimas
Gandasari sendiri yang kala itu sedang diperebutkan para jawara dari
berbagai pelosok daerah. beliau sangat tersinggung dengan menghindarinya
pemuda yang barusan masuk tadi, maka dengan serangan berapi-api Nyimas
Gandasari langsung melipat gandakan tenaganya untuk menglahkan pesaing
yang kini sedang dihadapinya.
Dengan perasaan dongkol, Moh. Syam
akhirnya memutuskan untuk melayaninya dengan bersungguh hati hingga
ditengah perjalanan Nyimas Gandasari sangat kewalahan. Merasa
kesaktiannya kalah dibawah pemuda asing yang kini sedang dihadapinya,
maka dengan sesekali loncatan Nyimas Gandasari berucap "Ya Kanjeng
Susuhan Sunan Gunung Jati, Yajabarutihi ila sulthonil alam, kun fayakun
Lailaha Illallah Muhamad Rosululloh" lalu beliau langsung terbang ke
awang-awang dengan maksud agar pemuda tadi tidak sampai mengejarnya.
lain dengan jalan pikiran Moh. Syam waktu itu setelah beliau mendengar
nama Sunan Gunung Jati disebutnya, beliau tambah berambisi utnuk mencari
tahu, maka disusullah Nyimas Gandasari, hingga sampai tangan kanannya
terperangkap.
Merasa dirinya panik Nyimas Gandasari langsung
melepaskan tangan Moh. Syam sambil tubuhnya menukik tajam kebawah. pada
saat yang bersamaan Sunan Gunung Jati yang sedang tafakkur disungai Kali
Jaga, kedatangan Nyimas Gandasari yang wajahnya terlihat pucat pasi dan
sambil menuding kearah depan Nyimas Gandasari, memohon kepada gurunya
agar pemuda yang mengejarnya tidak melihat dirinya. lalu dengan
menyelipkan tubuhnya dibawah bekiak kakinya, kanjeng sunan Gunung Jati
berkata pada pemuda yang barusan datang dihadapannya " Wahai kisanak,
anda mencari siapa ditempat yang sepi seperti ini?" lalu Moh. Syam pun
menjawabnya " Kisanak mohon maaf sesungguhnya saya datang kemari mencari
gadis untuk meminta bantuannya, dimana saya bisa menemui Sunan Gunung
Jati?" dengan tersenyum akhirnya Sunan Gunung Jati melepaskan wujud
kecil Nyimas Gandasari ke wujud semula dan meminta berterus terang
dengan apa yang pernah di ikrarkan sebelumnya, yaitu wajib mematuhi
janjinya untuk menikah dengan orang yang mengalahkan kesaktiannya.
Dengan
perjalanan ini akhirnya Moh. Syam berganti nama dengan sebutan Pangeran
Soka dan dipenghujung cerita antara Nyimas Gandasari dan Pangeran Soka
akhirnya berikrar untuk meneruskan perjalanan hidupnya menuju ilmu
tauhid yang lebih matang hingga mereka berdua mufakat menjalankan nikah
bisirri tanpa hubungan badan selayaknya suami istri, namun akan bersatu
dengan nikah hakikiyah di alam surga kelak dengan disaksikan langsung
oleh Sunan Gunung Jati Min Quthbil Mutlak ila Jami’il Waliyulloh.
Kisah Legenda Setan Kober
ada masa Brawijaya 1 sampai turun ke 4 tahta selanjutnya, tatkala sir
wingit telah merasuki tubuh makhluk hidup dan keseimbangan bathin sudah
diambang keumuman, saat itulah kesaktian bentuk ilmu bagian dari
kehidupan manusia hingga suatu keterbatasan tidak lagi menjadi
penghalang. Terciptalah zaman di mana manusia dan makhluk tak kasat mata
saling berkomunikasi secara bebas. Wahyu ning zaman para Dewa,
menjadikan masa kala itu disebut kejawen jawi, yang mengedepankan makna
keluhuran bagi umat manusia.
Perjalanan pulau Jawa, sejak zaman
sanghiyang Bangau (sebelum masa WaliSongo) seluruh peradaban manusia
pada masa itu terbagi menjadi tiga golongan, Manusia, Lelembut, dan
Siluman dari bangsa seleman. Dari seluruh golongan ini akhirnya terpecah
menjadi dua bagian yaitu, aliran putih dan hitam. Kisah terbaginya
golongan ini pada akhirnya mendatangkan peperangan hingga turun sampai
ke zaman di mana WaliSongo, dilahirkan.
Tersebutlah nama dari
sekian banyaknya para tokoh sakti beraliran hitam kala itu "Setan Kober"
sosok setengah siluman yang banyak membawa risalah pertumpahan darah
bagi seluruh umat manusia. Setan Kober, nama yang sangat melegendaris
bagi seluruh aliran hitam sejak kerajaan Majapahit pertama didirikan.
Bercerita tentang ilmu kesaktian, beliau belum pernah terkalahkan oleh
siapapun juga pada masa kejayaannya, Setan Kober, telah menunjukkan pada
dunia bahwa dirinya pernah menjabat sebagai guru besar tujuh aliran
sekaligus selama 473 tahun lamanya. Di antara tujuh aliran yang dimaksud
adalah, bangsa manusia, lelembut dari alam laut, bangsa jin segala
penjuru alam, bangsa togog dari zaman purwacarita, bangsa siluman
seleman, bangsa perkayang bumi lapis tiga dan bangsa ngahyang.
Asal
usul Setan Kober, terlahir dari seorang Banaspati agung di zaman
purwacarita sepuluh bernama, Raja Lautan, berasal dari keturunan siluman
selemen / bangsa api. Dari hikayat yang ada, Raja Lautan, pernah
dikalahkan satu kali dalam hidupnya oleh Nabiyullah Hidir AS, dimasa
kejayaan Alexandria Agung. Sebuah kontemplasi yang Misteri lakukan,
ternyata Setan Kober, mempunyai tempat tinggal selayaknya manusia pada
umumnya, yaitu, di dalam hutan Panji, didaerah perbatasan antara Cibogo,
Benda Kerep, dan pemahaman ini pernah juga tersirat dalam bukunya RA,
Suladiningrat Kesepuluhan, yang berjudul "Babad Tanah Cirebon".
Bercerita tentang rumah Setan Kober, hampir keseluruhan bangunannya
terbuat dari tulang belulang binatang dan manusia. Dan dibelakang
rumahnya berdiri kokoh satu pendopo yang terbuat dari beraneka tulang
macan, kujang, kerbau dan singa. Kesehariannya, beliau lebih banyak
menghabiskan waktunya di pendopo untuk mengajarkan beragam ilmu kepada
muridnya yang berasal dari beragam golongan dan bila waktu senggang,
beliau banyak mengarahkan waktunya untuk menciptakan bilahan keris sakti
mandraguna, dan keris buatannya sampai kini masih banyak dimiliki
sebagian ahlul bathin.
Seperti halnya gambar keris diatas, keris
ini buatan asli tangan Setan Kober, yang beliau berikan pada Pangeran
Arya Panangsang, sebelum belaiu terbunuh oleh Jaka Tingkir, dan pada
perang gerilya Indonesia, lewat sebuah hawatir akhirnya keris ini
diberikan kepada pangeran Diponogoro, dan baru muncul kembali setelah
sekian lama menghilang ditahun 2007, kini keris ini masih dilestarikan
sebagai sarana derajat dalam pemilihan seorang pemimpin. Di masa raja
Jawa, nama Setan Kober, selalu disebut-sebut sebagai orang nomor satu
dunia persilatan, beliau kerap menjadi jawara pilih tanding yang banyak
dimanfaatkan oleh para raja Jawa sebagai pembunuh bayaran. Bahkan dimasa
Brawijaya ke-5, beliau kerap menjadi ahli strategi perang istana
Majapahit, dalam mengalahkan ratusan panglima pilihan seluruh kerajaan
yang ada di belahan dunia. Baru namanya surut dan akhirnya ngahyang
selamanya, akibat perasaan malu setelah beliau dikalahkan oleh jawara
sakti pangeran Suto Wijaya Gebang. Bagaimana kisah ini bisa terjadi ?
Inilah simakannya.
Dimasa perang antara Majapahit dan Demak
Bintiri, yang pada saat itu rajanya bernama Raden Fatah, dengan
dibantukan 101 Waliyullah, dibawah komando panglima besar Sunan Kudus.
Tujuh belas tahun, dua kerajaan ini pernah terlibat sengit dan 24 kali
mereka bertemu dalam peperangan hebat, 18 kali Majapahit menyerang
Demak, dan 6 kali Demak balik menyerang Majapahit. Wilayah yang pernah
menjadi pertumpahan darah antara Majapahit dan Demak Bintoro,
diantaranya, Magelang, Sragen, Banyu Wangi, Kudus, Klaten, Tidar,
Madura, Lasem, Purwo Rejo, Yogya, Batang, Semarang dan Surabaya. Dengan
strategi yang matang, Setan Kober, yang kala itu menjadi bagian kerajaan
Majapahit, mulai menyebar aksinya dibeberapa pelosok desa terpencil
dengan cara membunuh satu persatu para jawara Islam yang dianggapnya
telah berkomplot dengan kerajaan Demak Bintoro.
Bahkan disamping
lainnya Setan Kober, mulai menyusun kekuatan dengan mendatangi
dedengkot aliran hitam dipenjuru pelosok desa, diantara nama aliran
hitam yang pernah bergabung dengannya, Pangeran Tepak Palimanan,
Pangeran Telaga Herang, Pangeran Ucuk Umum Banten, Pangeran Lodaya
Indramayu, sebelum masuk Islam, Pangeran Samber Nyawa dari daerah Cuci
Manah, Pangeran Kebo Kinabrang dari gunung Tangkuban Perahu, Ki Gede
Jalu, dari Brebes, Ki Gede Kapetakan, Ki Gede Lewimunding, Ki Gede Tegal
Gubug, sebelum masuk Islam, Ki Gede Purba Lanang, siluman air daerah
gunung Tidar Jateng, Ki Janggala Wesi, dari siluman seleman, dan
lainnya. Pada perang ke 17, kerajaan Islam Jawa, pernah dikalahkan
dengan terbunuhnya beberapa Waliyullah, diantaranya Sunan Udung, Sunan
Pajang, Sunan Beling, Sunan Persik, Sunan Odong, Sunan Rohmat, Sunan
Qoyyim dan Sunan Menjangan atau Pangeran Sambar Nyawa. Namun dalam
sejarah lain menyebutkan, kekalahan Islam pada waktu itu akibat bangsa
Waliyullah, tidak semuanya turun ke medan laga dikarenakan mereka sedang
berkabung atas wafatnya Sunan Ampel, salah satu WaliSongo, sehingga
kala itu para Waliyullah, lebih banyak ta’ziah datang ke daerah Ampel.
Di
lain pihak setelah kekalahan Islam mulai menjadi buah bibir dikalangan
masyarakat luas, Sunan Gunung Jati, Pangeran WalangSungsang, Sunan
KaliJaga, Sunan Kudus dan Sulthan Hasanuddin Banten, mulai merapatkan
barisan dengan memilih diantaranya untuk mencari beberapa tokoh aliran
hitam. Pada masa itu yang diutus untuk menandingi kesaktian aliran hitam
diantaranya, pangeran WalangSungsang atau Mbah Kuwu Cakra Buana, Sunan
KaliJaga, pangeran Arya Kemuning, Syeikh Muhyi muda Tasik, Nyaimas
Gandasari, Panguragan, Syeikh Suto Wijaya Gebang, pangeran Hasanuddin
Banten, Syeikh Sapu Jagat dan Syeikh Magelung Sakti.
Lewat
mandat Sunan Gunung Jati, mereka bergerak dengan cara terpisah, dan
lewat perjalanan panjang selama tujuh tahun lamanya, mereka akhirnya
bisa menaklukkan seluruh bangsa aliran hitam. Namun hal semacam itu
bukan berarti mereka mudah menandingi ilmu dedengkot para aliran hitam
melainkan butuh perjuangan dan kesiapan matang, sebab dalam menjalankan
tugas ini mereka juga pernah dikalahkan sewaktu duel kesaktian bersama
dedengkot aliran hitam.
Seperti pangeran Arya Kemuning misalnya,
beliau pernah berhadapan dengan dedengkot aliran hitam pangeran Telaga
Herang, namun dalam adu kesaktian Arya Kemuning bisa dikalahkan dengan
mudah, baru saat perang tanding dengan Syeikh Muhyi muda Tasik, pangeran
Telaga Herang, kalah telak dan akhirnya ngahyang sampai sekarang. Juga
Nyimas Gandasari, yang kala itu ditugaskan untuk menangkap pangeran Ucuk
Umum, beliau kalah dalam adu kesaktian, baru tatkala Mbah Kuwu Cakra
Buana, turun ke laga, pangeran Ucuk Umun, bisa dikalahkan dan akhirnya
ngahyang selamanya, kisah ini terjadi di pantai Karang Bolong Banten.
Sunan
KaliJaga, beliau pernah dikalahkan oleh pangeran Tepak Palimanan, dalam
penaklukkan wilayah Cirebon, kekalahan Sunan KaliJaga, akibat campur
tangan Prabu Siliwangi, dan baru setelah kedatangan pangeran Arya
Kemuning dan Mbah Kuwu Cakra Buana, pangeran Tepak Palimanan, bisa
terbunuh dengan kepala terpotong dari raganya, kisah ini terjadi
dipuncak bukit Palimanan, yang bernama gunung Tugel. Kembali ke cerita
asal, pertempuran antara pangeran Suto Wijaya Gebang, dengan Setan
Kober, di daerah hutan Pranji, tidak bisa dihindarkan lagi, kedua musuh
bebuyutan ini saling mengerahkan kesaktiannya hingga sampai 40 hari
lamanya.
Dalam perkelahian panjang ini akhirnya dimenangkan oleh
pangeran Suto Wijaya, sehingga Setan Kober, akhirnya ngahyang dihutan
Pranji, selamanya. Kisah terkalahkannya Setan Kober, akhirnya jadi
perbincangan orang banyak sehingga Mbah Kuwu Cakra Buana, selaku gurunya
sangat khawatir. Pasalnya sejak kejadian itu pangeran Suto Wijaya,
diangkat menjadi seorang pemimpin oleh seluruh bangsa gaibiah sehingga
Mbah Kuwu Cakra Buana, merasa takut ilmu yang beliau berikan selama ini
disalah gunakan oleh murid-muridnya.
Dalam sejarah babad tanah
Jawa, ilmu pangeran Suto Wijaya Gebang, satu-satunya Ilmu paling
ditakuti oelh seluruh bangsa siluman atau gaibiyah, ilmu yang
dimilikinya adalah "Syahadat Majmal" dimana ilmu ini dibacakan maka
seluruh gaibiyah yang ada akan mengikuti ucapan kita, bahkan dalam
perang tanding melawan Setan Kober, ilmu inilah yang menjadi andalannya
hingga Setan Kober sendiri, harus menerima kekalahannya dengan tubuh
terbakar. Dalam kisah lain diceritan, setelah satu tahun Setan Kober,
dikalahkan, pangeran Suto Wijaya Gebang, bilau akhirnya dipanggil
menghadap Mbah Kuwu Cakra Buana, ‘Andika, bagaimanapun juga dirimu
telah menjadi orang yang ditakuti seluruh makhluk tak kasat mata, namun
menurutku, jauhkan ilmu itu sehingga antara manusia dengan bangsa gaib
ini tetap lestari selamanya, sebab kasian bagi yang lain, dengan adanya
ilmu yang andika miliki sekarang, maka seluruh bangsa gaib akan punya
batasan tertentu yang menjadikan mereka percaya hanya pada Andika".
Dengan
patuh pangeran Suto Wijaya mengiyakannya, tanda beliau setuju dengan
ucapan gurunya. Namun lain sifat lain pula kenyataannya. Ya… Benar juga
ucapan Mbah Kuwu Cakra Buana, walau pangeran Suto Wijaya, sudah menerima
atas mandat gurunya akan tetapi para muridnya yang berasal dari bangsa
siluman dan gaib lainnya, hanya tunduk pada majikannya bukan pada orang
lain sehingga walau Mbah Kuwu Cakra Buana, adalah gurunya pangeran Suto
Wijaya, dengan cara sembunyi tangan akhirnya mereka tidak menerima
pengakuan Mbah Kuwu Cakra Buana, dengan cara menyerang seluruh kerathon
Pakung Wati Cirebon. Dalam hal ini Mbah Kuwu Cakra Buana, tidak tinggal
diam, beliau langsung menghadapinya dengan pusaka "Golok Cawang" dan
akhirnya seluruh bangsa gaib bisa dikalahkan dengan mudah.
Dengan
kejadian ini Mbah Kuwu Cakra Buana, akhirnya menciptakan satu ilmu
tandingan yaitu, Qutho Qosot, yang bertajuk: "Syetan, jin, perkayang,
dedemit, lelembut dan lainnya akan tunduk atas namaku" dan sebelum kisah
ini berakhir ada baiknya kita semua tahu bahwa, walau Setan Kober,
telah ngahyang selamanya, namun beliau telah mempunyai satu putra
sebagai generasi penerusnya yaitu "Banaspati" yang kini masih menjadi
prokontra kalayak ahli bathin.
Langganan:
Postingan (Atom)